Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 5

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa

LIMA
DI daerah sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga rombongan yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang telah menjelajah melakukan pencarian terhadap Ni Ayu Tantri yang telah diculik itu. Rombongan pertama dipimpin oleh I Krambangan menyelidik daerah sekitar Denpasar. Rombongan kedua dipimpin oleh Nyoman Dwipa, kekasih Ni Ayu Tantri, menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan yang terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang bernama I Gusti Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga rombongan itu melakukan penyelidikan namun sia-sia belaka. Pada hari ke delapan I Krambangan dengan putus asa meninggalkan daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke Klungkung.
Dalam perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan menempuh daerah sebelah timur laut, menyusur rimba belantara dan kaki-kaki bukit. Udara panasnya bukan main karena matahari bersinar dengan terik. Sewaktu melewati sebuah kaki bukit, I Krambangan melihat kuda tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya. Mulutnya yang berbusah senantiasa tak bisa diam sedang cuping hidungnya bergerak-gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu berada dalam keadaan seperti itu, ini merupakan suatu tanda bahwa dia tengah membaui air segar.
Mulanya I Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu. Lebih cepat kembali ke Klungkung adalah lebih baik baginya. Siapa tahu rombongan yang dipimpin oleh Nyoman Dwipa atau I Gusti Wardana telah berhasil menemukan anak gadisnya.
"I Krambangan," tiba-tiba seorang anggota rombongan yang berada di samping I Krambangan menegur. "Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk istirahat barang beberapa ketika? Kalau aku tidak salah, di sebelah sana terdapat sebuah telaga berair jernih . . . "
Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa rombongan ke arah telaga yang dikatakan anggota rombongan tadi. Semakin dekat ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar menyambar hidung setiap anggota rombongan.
"Adakah kalian membaui sesuatu?" tanya I Krambangan.
"Ya. Bau busuk apa ini!" jawab seorang di belakangnya sambil memandang berkeliling. Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga.
"Hai lihat!" seru seorang di antara mereka. "Ada pondok di tepi telaga sana!"
Memang benar di seberang telaga kelihatan sebuah pondok kayu. Dan dari pondok inilah agaknya santar sekali menyambarnya bau busuk itu. I Krambangan mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba selintas pikiran timbul di benak orang tua ini. Dadanya berdebar. Disentakkannya tali kekang kudanya. I Krambangan memacu binatang itu memutari telaga hingga akhirnya sampai di depan pondok. Laki-laki ini melompat turun dari kudanya dan lari ke pintu pondok. Pintu itu tidak dikunci. Ketika didorong segera terpentang lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang membuat suasana tambah ngeri terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka bau busuk menerpa hidung menyesakkan pernafasan laki-laki itu. Sambil menutup hidung I Krambangan masuk ke dalam dan langkahnya terpaku ke lantai pondok sewaktu matanya membentur sesosok tubuh perempuan yang menggeletak di atas lantai.
Hanya seketika I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung. Bila ditelitinya paras yang rusak itu terpekiklah dia!
"Dewa Agung!"
I Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu. Beberapa orang anggota rombongan kemudian memasuki pula pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap ngeri melihat pemandangan di depan mata mereka! Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok bukan lain adalah sosok tubuh Ni Ayu Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak selembar benangpun yang menutupi auratnya, tubuh itupun sangat rusak, sudah membusuk bahkan di beberapa bagian sudah ada yang dimakani ulat! Parasnya yang cantik jelita kini hanya merupakan satu benda yang mengerikan untuk dipandang. Keningnya pecah. Seluruh mukanya yang tertutup darah kental beku itu sebagiannya telah busuk. Mata kiri kanan tempat bersarangnya belatung-belatung yang berjalan kian kemari!
"Dewa Agung⁄" rintih I Krambangan yang menundukkan kepala dan mencucurkan air mata karena tak sanggup menyaksikan keadaan anak gadisnya, "dosa apakah yang aku buat, kesalahan apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib begini rupa . . ?"
Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Sebaliknya di lubuk hati I Krambangan seolah-olah muncul sebuah titik merah yang makin lama makin besar, makin besar … makin besar dan akhirnya berubah menjadi satu kobaran api yang membakar hati dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang menyelimuti dirinya membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat! Rahang-rahangnya terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletukan. Tibatiba berteriaklah I Krambangan laksana geledek dahsyatnya, membuat semua orang yang ada di situ menjadi kaget sekali.
"Tjokorda Gde Anyer! Ini semua gara-garamu! Ini pasti anakmu yang punya perbuatan! Demi Dewa Agung aku bersumpah untuk membunuh seluruh keluargamu! Akan kuhirup darah anakmu yang jahanam itu!"
Bersarnaan dengan berakhirnya teriakan itu, di luar pondok udara tiba-tiba menjadi gelap. Langit mendung. Angin menderu keras. Guntur menggelegar, kilat menyambar dan hujan lebatpun_ turunlah! Keadaan seperti itu seolah-olah delapan penjuru jagat dan Dewa-dewa di Kahyangan telah mendengar teriak sumpah I Krambangan tadi!
***
Saat itu memang musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I Krambangan memasuki Denpasar. Di belakangnya kelihatan empat orang laki-laki memacu kuda masing-masing. Sejak dari Klungkung keempat laki-laki itu telah coba menjernihkan hati serta pikiran I Krambangan yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian menurut jalan wajar. Mereka telah menasihatkan agar perkara tersebut diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota Klungkung yaitu I Gusti Wardana yang sampai saat itu belum kembali dalam memimpin rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan kalap, dalam keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk memberi nasihat pada I Krambangan yang sudah seperti manusia kemasukan setan itu!
Sambil menyisipkan sebilah keris pusaka almarhum kakeknya I Krambangan berkata pada tetangga-tetangga yang ada di hadapannya, "Nyawa dan kehormatan anak gadisku harus dibayar oleh seluruh keluarga Tjokorda Gde Anyer keparat itu! Aku belum puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya yang durjana! Kalian tak usah ikut campur! Ini adalah urusan pribadiku!"
Semua orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar. Maka untuk berusaha agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan itu, empat orang tetangga telah berangkat pula sengaja mengikuti I Krambangan ke Denpasar. Pintu gerbang besar rumah gedung Tjokorda Gde Anyer terkunci. Tanpa turun dari kudanya I Krambangan menggedor pintu itu. Tak berapa lama kemudian pintu besarpun terbuka. Seorang pelayan laki-laki memunculkan kepalanya.
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Anyer dan anaknya yang bernama keparat Tjokorda Gde Djantra itu ada di dalam?!" bentak I Krambangan.
Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah yang menjadi terkejut. Pelayan ini ingat pada pesan majikannya, maka diapun berkata,
"Sayang sekali, majikanku dan keluarganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. Beliau berpesan kalau ada tamu agar kembali saja minggu depan."
"Hem . . . begitu pesannya?" ujar I Krambangan.
Pelayan itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I Krambangan menggerakkan kaki kanannya, menendang dengan sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului oleh satu jeritan kesakitan yang luar biasa, si pelayan terpelanting dan roboh tak sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang pintu hingga pintu itu terpentang lebar.
Di depan tangga langkan gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini melompat turun. Empat orang laki-laki lainnya melakukan hal yang sama dan berdiri di belakang I Krambangan. Setelah memandang berkeliling dengan mata yang merah laksana dikobari nyala api, maka berteriaklah I Krambangan.
"Anjing busuk yang bernama Tjokorda Gde Anyer keluarlah untuk menerima mampus!"
Tak ada jawaban I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi sampai berulang-ulang! Sewaktu masih tetap tak ada jawaban maka menggelegaklah kemarahan laki-laki ini. Kakinya bergerak! Pot bunga buatan Cina yang besar dan terletak di langkan itu pecah berantakan dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan yang ada di ruangan muka itu hancur musnah dirusak I Krambangan sementara empat orang kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi melarang. Mereka hanya memperhatikan saja dengan hati cemas.
Satu-satunya benda yang masih utuh di ruang depan gedung mewah itu ialah lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit. I Krambangan mengambil sebuah kursi yang telah patah-patah dan melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu pecah berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah pintu di sudut kanan terbuka. Seseorang memunculkan diri.
Kemunculan orang ini disambut oleh dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made Trisna! Mana majikanmu si anjing Tjokorda Gde Anyer itu?!"
Paras Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam lalu katanya dengan suara lunak, "Sahabatku, I Krambangan."
"Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya majikan kalau tidak ingin mampus! "
"Apa-apaan ini sebenarnya I Krambangan? Tak ada pasal lantaran kenapa kau mengamuk di rumah orang … ?!"
"Keparat laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing kurap bernama Tjokorda Gde Djantra! Dan kau masih bisa bilang tak ada pasal tak ada lantaran…!"
" Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!"
"Manusia bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!" teriak I Krambangan. Sambil melompat ke muka keris pusaka di pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian secarik sinar putih menderul Itulah satu tusukan cepat yang dilancarkan oleh I Krambangan dengan keris peraknya ke arah leher Made Trisna!
Melihat orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna cepat-cepat melompat. Serangannya yang mengenai tempat kosong membuat I Krambangan jadi tambah gelap. Cepat laksana kilat dia membalik. Sewaktu I Krambangan hendak melancarkan serangan maut untuk kedua kalinya, maka menggemalah satu teriakan lantang, "Tahan!"
I Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat.
"Anjing busuk! Akhirnya kau keluar juga dari persembunyianmu!" seru I Krambangan.
Paras Tjokorda Gde Anjer mengelam. "I Krambangan!" katanya menegur, "Apa yang kau perbuat di sini benar-benar membuat aku terkejut!"
I Krambangan mendengus keras.
"Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu telah menculik dan merusak kehormatan Tantri dan membuhuhnya?!"
"A … apa?!" seru Tjokorda Gde Anyer terkejut. Dan ini adalah satu kepura-puraan. Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah tahu apa yang terjadi atas diri Tantri.
"Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas tanggung jawab yang harus kau pikul perlu apa kau memberikan pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di luar sana?!"
"Aku sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu rupa pada pe …"
"Sudahlah! Dihadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar! Bicaralah nanti di liang kubur!"
Habis berkata demikian I Krambangan melompat dan keris perak untuk kesekian kalinya berkiblat mencari maut!
"I Krambangan! Lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!" seru Tjokorda Gde Anyer.
"Aku sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!" jawab I Krambangan dan serangannya makin ganas. Di serang bertubitubi begitu rupa Tjokorda Gde Anyer tak bisa berdiam diri saja. Bangsawan kaya raya ini segera mencabut sebilah keris bereluk dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang seru! Baik Made Trisna maupun keempat kawan I Krambangan tak bisa mencegah atau menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma memperhatikan jalannya pertempuran dengan hati penuh kekawatiran. Pertempuran yang hebat itu sudah dapat dipastikan akan meminta salah satu korban jiwa!
Bagaimanapun hebatnya serangan-serangan Krambangan pada jurus-jurus permulaan pertempuran itu namun sudah dapat dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer bukanlah tandingannya. Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Bali sekitar dua puluh tahun yang lalu adalah seorang perwira Kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa perwira lainlah kaum pemberontak berhasil ditumpas, takhta kerajaan berhasil diselamatkan. I Krambangan sendiri sewaktu pertumpahan darah itu terjadi hanya memegang jabatan sebagai Kepala Prajurit Kerajaan, hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau pangkat itu sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu silat masing-masing.
Lima jurus berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang laksana hujan mencurah itu mulai ditanan dan dibendung oleh keris bereluk dua belas di tangan Tjokorda Gde Anver vang nyatanya bukanlah keris sembarangan pula! Dengan senjata itulah dulu kabarnya Tjokorda Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali!
Pada jurus kesembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap dan membahayakan dirinya sendiri, I Krambangan berhasil melukai bahu kiri lawannya Tjokorda Gde Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi dia cuma bertahan dan menunggu kesempatan untuk merampas senjata lawan maka kini diapun tak mau main-main lagi. Keris ditangannya diputar demikian rupa, gerakangerakannya berubah dan dalam satu jurus saja I Krambangan menjadi dibikin sibuk! Berada dalam keadaan terdesak bukan membuat I Krambangan menjadi cemas sebaliknya makin naik darah. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh lawannya itu meskipun apapun yang terjadi. Maka diapun mengeluarkan segala kepandaian yang ada.
Memasuki jurus keduapuluh sembilan I Krambangan benar-benar kalang kabut. Delapan kali saling benturan senjata dengan lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan sakit. Melihat pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka atau paling lama tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya!
"I Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku bersedia untuk tidak memperpanjang urusan!" berseru Tjokorda Gde Anyer.
"Seluruh keluargamu mampus dulu di tanganku baru aku mau menyerah pada mayat-mayat busuk kalianl" jawab I Krambangan.
Tjokorda Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu bentakan menggeledek dia membuka jurus ketiga puluh dengan satu serangan yang hebat. Serangan ini dinamakan lengan dewa merangkul awan." Mula-mula kerisnya kelihatan menusuk tajam ke arah batok kepala lawan. Ketika lawan menangkis, mendadak lengannya bergerak menghantem ke leher dalam kecepatan yang luar biasa dan sukar diduga. Mana diduga kalau serangan senjata yang dilancarkan oleh tangan kanan, bisa berubah dengan satu pukulan tangan kosong yang lihay!
I Krambangan tau bahwa dia tak punya daya untuk menangkis, tak punya kesempatan untuk mengelak. Karenanya dengan untung-untungan laki-laki ini tusukkan kerisnya ke dada lawan. Tapi posisi Tjokorda Gde Anyer terlalu jauh untuk dicapai oleh tusukan itu! Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan kanan Tjokorda Gde Anyer membabat deras dan "krak"! Patahlah batang leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan, nyawanya sudah lepas!
Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya berdiam diri menyaksikan pertempuran itu dengan kawatir, kini bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat mereka menjadi marah sewaktu melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa nyawa, Tanpa menunggu lebih lama keempatnya menghunus keris dan menyerbu!
Made Trisna tidak tinggal diam pula. Maka kini pecahlah pertempuran empat lawan dua yang teramat seru tapi yang juga berjalan duabelas jurus. Satu demi satu keempat orang itu roboh mandi darah dan mati!
***

Next ...
Bab 6

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




Related Posts :

0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 5"

Posting Komentar