WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
SEPULUH
ORANG berpakaian putih itu membungkuk di samping tubuh Jayengrono. Wajah sang patih kelihatan membiru sedang dari sela bibirnya keluar busa kental dan leher bengkak menggembung. "Racun jahat," kata orang berpakaian putih dalam hati. Telapak tangan kanannya di tekankan ke perut Jayengrono sedang jari-jari tangan kiri mencengkeram leher patih itu. Sesaat kemudiankelihatan tubuh Jayengrono menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari mulutnya semakin banyak keluar busa dan kini busa itu berwarna kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan sang patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa lega melihat manusia yang ditolongnya muntah. Dia maklum, kalau Jayengrono tidak muntah begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak mungkin di selamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan Jayengrono masih belum terjamin sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa panas dan hawa dingin ke dalam aliran darah sang patih lalu diambilnya dua butir obat dan dimasukkannya ke dalam mulut patih itu. Setelah yaktn bahwa kini tak ada lagi racun jahat yang mengendap dalam tubuh atau jalan nafas Jayengrono, laki-laki berpakaian putih itu sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan jari-jari tangan kanannya menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh tercurinya Tombak Trisula serta lenyap tak diketahui ke mana perginya Mapatih Jayengrono, malam yang dingin telah berganti dengan siang, fajar telah menyingsing di timur.
Tubuh Mapatih Jayengrono yang selama beberapa jam terhantar di tanah kelihatan bergerak. Sepasang matanya membuka perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan duduk menjelepok di tanah. Mula-mula dia heran menyaksikan di mana dia berada saat itu. Namun bila dia ingat apa yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia memandang berkeliling dan pada waktu itulah pandangannya membentur pada barisan-barisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah ke Istana.
Tentang Tombak Trisula tak usah dikawatirkan.
Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Pendekar 212.
Pendekar 212," desis Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu tapi di seluruh Jawa Tengah namanya sudah tersohor sebagai seorang pendekar berusia muda yang amat tinggi ilmu silat serta kesaktiannya, yang bertualang dari situ daerah ke daerah lain menjalankan tugas membela kebenaran dan keadilan, menolong siapa saja yang tertindas dan mendapat bahaya. Kemudian Jayengrono ingat pula bagaimana Dewa Maling Baju Hitam telah meniupkan racun jahat kepadanya hingga dia roboh pingsan. Tentu Pendekar 212 itulah yang telah menolongnya. Perlahan-lahan Jayengrono berdiri. Dendam kesumatnya terhadap Dewa Maling amat besar, tapi dia tak bisa berbuat suatu apa selain berharap bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng benar-benar bisa mengambil dan mengembalikan tombak tumbal Kerajaan itu. Dengan harapan itulah Jayengrono meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke Istana Pajang.
***
Kira-kira setengah hari perjalanan dari Pajang terdapatlah sebuah lembah liar. Dulunya lembah ini adalah sebuah lembah subur. Tapi sewaktu banjir melanda daerah itu, segala kesuburan lembah tersebut ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil yang terdapat di situ ikut menjadi korban, hampir keseluruhannya diterjang banjir. Kini sisa-sisa kuil tersebut masih berdiri meskipun sudah tak beratap lagi dan dinding-dinding sebagian besar hanya tinggal sepotongsepotong. Boleh dikatakan sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar, tak seorang manusiapun yang datang ke sana. Namun di hari itu adalah aneh karena di depan bekas-bekas runtuhan kuil kelihatan dua ekor kuda besar tengah merumput. Terlindung di balik reruntuhan tembok kuil berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal melintang. Yang seorang lagi kebalikannya berbadan besar tegap. Mereka berdua adalah Pangeran Ranablambang dan pembantu kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku kawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak itu," kata Pangeran Ranablambang.
"Mana mungkin, Pangeran. Dia seroang cerdik, punya seribu akal dan berilmu tinggi pula," menyahut Pandemang seraya mengusap-usap dagunya yang lebat ditumbuhi berewok.
"Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau tidak percuma dia mendapat julukan hebat begitu rupa."
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa sampai pada akhirnya di tepi lembah dilihatnya satu titik hitam muncui mendatang dengan cepat.
"Itu dia," kata Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan ternyata memang dia adalah Dewa Maling Baju Hitam yang telah menanggalkan pakaian hulubalangnya.
"Bagaimana? Berhasil?!" pertanyaan itu cepat-cepat diajukan oleh Pangeran Ranablambang pada Dewa Maling begitu Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres Pangeran! Beres!" jawab Dewa Maling dengan tertawa lebar.
Gembiralah Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan padaku cepat."
Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan senjata tumbal kerajaan itu dan menyerahkannya pada Pangeran Ranablambang. Setelah meneliti benda itu sebentar lalu sang pangeran cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari Dewa Maling, kau bakal mendapat hadiah besar dariku," kata Pangeran Ranablambang. Dia melangkah kekudanya. Dari dalam sebuah kantong kulit yang tergantung di leher binatang itu dikeluarkannya dua buah kantong kain. "Yang ini berisi barang-barang perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang satu ini berisi uang! Terimalah!"
Dewa Maling cepat mengulurkan tangan menyambut hadiah besar itu. Setelah menyimpan baik-baik kedua kantong tersebut maka bertanyalah dia.
"Bagaimana dengan janjimu hendak mengangkat aku jadi orang berpangkat di Istana?" Ranablambang tersenyum.
"Kau tak usah kawatir Dewa Maling. Segera takhta Kerajaan sudah berada di tanganku pangkat apapun yang kau inginkan pasti kuberi. Sekarang rencana kita itu masih cukup panjang untuk diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di tangan kita …."
"Apalagi yang harus kita laksanakan, Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama kita harus melenyapkan Mapatih Jayengrono …. ".
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Pangeran Ranablambang heran.
"Soal diri Mapatih Jayengrono, kau tak usah khawatir, Pangeran! Tak usah kawatir! Dia sudah kubikin beres!"
"Maksudmu?!"
Dewa Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan Jayengrono dan bagaimana dia pada akhirnya berhasil merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu. Bukan main gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau begitu", kata sang pangeran pula, "malam ini juga aku sudah bisa menggerakkan balatentara Surabaya untuk menggempur Istana!"
Ranablambang mengangguk-angguk kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling. Pasukanpasukan akan memasuki Kotaraja dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku yang ada di dalam Kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah apakah mau ikut menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri
"Karena ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri, Pangeran …." jawab Dewa Maling.
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di Kotaraja malam ini!"
"Sampai ketemu," balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap dikejauhan Pangeran Ranablambang dan Pandemang naik ke kuda masing-masing.
"Apa kataku, Pangeran," berkata Pandemang. "Dewa Maling pasti berhasil mendapatkan Tombak Trisula itu!"
Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa melainkan menepuk pinggul kudanya agar lari lebih kencang.
"Agar lebih cepat sebaiknya kita ambil jalan memotong saja Pandemang," kata Pangeran Ranablambang.
"Baik, Pangeran", menyetujui si pembantu. Maka kedua orang itupun membelok memasuki sebuah jalan kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang pembantunya mengikut dari belakang.
Ada kira-kira sepeminuman teh mereka menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di depan mereka terdengar suara siulan membawakan lagu tak teratur dan tak menentu nadanya, tiada beda dengan anak-anak yang baru pandai bersiul. Yang anehnya suara siulan itu masuk ke telinga kedua penunggang kuda dan menggetarkan gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran Ranablambang pada Pandemang.
"Ada kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku juga merasakan", kata Pangeran Ranablambang dan mulai memperlambat lari kudanya. "Karena itu bersikap waspadalah, Pandemang."
Setelah dua kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh jalan kecil itu rasa heran semakin bertambah. Betapakah tidak, sudah sejauh itu tetap mereka masih belum juga memapasi atau melihat orang yang bersiul sedang suara siulan tetap santar datangnya dari sebelah muka!
"Seorang biasa tak mungkin dapat bersiul seaneh ini," membatin Ranablambang. Dirabanya pinggangnya untuk memastikan bahwa Tombak Trisula masih berada di situ. Setelah satu kali peminuman teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang.
"Bagaimana Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung," kata Ranablambang. Dia berpikir sejenak lalu.
"Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka keduanyapun memacu kuda masing-masing kembali.
Tak selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah seseorang duduk di tepi jalan, bersandar ke sebatang pohon. Kedua kakinya diulurkan ke depan. Orang inilah yang tengah asyik bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika Pangeran Ranablambang dan Pandemang sampai di tempat itu, dia terus saja bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah tahu atau tidak perduli akan kehadiran kedua penunggang kuda itu.
"Hanya seorang pemuda tolol gila, kiranya Pandemang. Kukira siapa!" kata Ranablambang pada pembantunya.
Pandemang juga jadi mendongkol ketika menyaksikan orang yang bersiul itu adalah seorang pemuda berpakaian putih, bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!" membentak Pandemang.
Di bentak demikian rupa si pemuda bukannya hentikan siulan, malah semakin memperkencangnya hingga baik Pangeran Ranablambang maupun Pandemang terpaksa menutup jalan pendengaran masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit pengang!
"Pemuda hina dina!" bentak Pandemang lagi penuh marah, "berani kau bersikap kurang ajar terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang melompat dari kudanya. Tinjunya yang keras besar laksana palu godam diayunkan ke kepala pemuda itu.
***
Next ...
Bab 11
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424


0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 10"
Posting Komentar