WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
SEMBILAN
PADA WAKTU prajurit-prajurit pengawal dan para hulubalang lari secepatnya menuju ke mesjid, mereka berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian mau ke mana?!" tanya sang patih heran.
"Di depan mesjid tengah terjadi pertempuran, Maling yang mencuri Tombak Trisula sedang dikeroyok. Kami kesana untuk memberikan bantuan", menerangkan salah seorang hulubalang. Heranlah Mapatih Jayengrono. Dia barusan lewat menyelidik di depan mesjid dan di sana tak terjadi keributan apa-apa, apalagi pertempuran.
"Kalian telah kena tipu!" kata Jayengrono pula. "Dari siapa kalian tahu ada pertempuran di depan mesjid?"
"Seorang hulubalang klas satu mengatakannya pada kami!"
"Kalian tolol semual," bentak sang patih gusar bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju ke tembok timur.
"Mana dia?!" tanya Jayengrono dengan mata membeliak.
"Tadi . . . , tadi . . . . dia bilang akan berjaga-jaga di si…"
"Plaak!"
Tamparan Patih Jayengrono mendarat di pipi hulubalang itu hingga ucapannya yang tergagap-gagap ketakutan terputus sampai di situ. Setelah memaki habis-habisan, tanpa membuang tempo sang patih segera melompati tembok kerajaan dan lenyap dari pemandangan orang-orang tersebut. Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, didepannya dilihatnya seorang berpakaian hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah orang itu memiliki ilmu lari yang lihay dan di samping itu, Jayengrono merasa gembira karena inilah manusia yang dicari-carinya. Mahapatih yang berumur setengah abad lebih ini segera mengerahkan pula ilmu larinya yang tak kalah hebat dan dalam tempo singkat dia berhasil mendekati orang yang dikejarnya dalam jarak sepuluh tombak. Maka mebentaklah dia,
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
Orang yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya. Ternyata dia memanglah Dewa Maling Baju Hitam.
"Jayengrono! Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku akan beri hadiah atas kesetiaanmu itu! Ini terimalah!" kata Dewa Maling. Lalu dalam jarak kurang dari delapan tombak dia menghantamkan tangan kanannya ke belakang. Mapatih Jayengrono yang tengah lari kencang tak punya kesempatan untuk menangkis, dengan serta merta membuang diri ke samping kiri.
Wuss!
Angin pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas bukan main.
"Braak!
Angin pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon besar. Bukan saja pohon itu menjadi hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan mengeluarkan suara bergemuruh.
"Kau berkelit dari seranganku, Jayengrono! Berarti kau masih mau hidup. Kalau mau terus bernafas kunasihatkan padamu agar kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih Jayengrono mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia bisa melihat jelas wajah si pencuri. Hatinya terkejut. Tak di sangkanya yang melarikan Tombak Trisula itu adalah Dewa Maling Baju Hitam, seorang tokoh pencuri yang terkenal lihay di dunia persilatan. Pantas saja dia sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan itu.
"Sebelum kuterima nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono. "Lekas serahkan kembali Tombak Trisula. Dan kepalamu itu akan selamat dari kehancuran!"
Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
"Kau jauh dari sarangmu, Mapatih! Kalau bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!"
"Silahkan ambil sendiri!" sahut Dewa Maling Baju Hitam seenaknya dan sambil menimangnimang Tombak Trisula yang dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih Jayengrono gusar bukan main. Namun dia tak segera turun tangan. Ada beberapa hal yang harus diketahuinya. Pertama, meski Dewa Maling terkenal sebagai pencuri klas wahid yang tak ada bandingannya di dunia persilatan namun bagaimana dia bisa berhasil mencuri Tombak Trisula sedang senjata mustika itu di simpan di tempat yang paling tersembunyi dan penuh dengan senjata-senjata rahasia yang mengancam jiwa setiap orang yang berani mengambilnya secara sembarangan?
Hal kedua yang ingin diketahui oleh Mapatih Jayengrono ialah apakah ada seseorang yang bersembunyi di belakang pencuri itu dan sekaligus memberi tahu seluk beluk penyimpanan Tombak Trisula, dengan kata lain seorang telah memperalat Dewa Maling Baju Hitam!
"Dewa Maling, untuk apa olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan itu? Sekalipun kau memilikinya jangan harap kau bakal bisa menjadi Raja!"
Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Aku mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan urusanmu, Mapatih!" sahutnya.
"Jika kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan siapa orang yang berdiri di belakangmu, aku akan bikin habis persoalan. Dan di samping itu aku akan berikan hadiah besar untukmu."
"Sudahlah Mapatih. Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang bukan milik bapak moyangmu?"
Marahlah Mapatih Jayengrono.
"Aku bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi di Kerajaan!" katanya. "Kalau kau tetap keras kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari pagi!"
"Kalau begitu kau yang sebetuinva buru-buru inginkan mati, Jayengrono! Marilah kutolong kau mencari jalan ke neraka!". Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam melompat dan menyerang dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata mustika bermata tiga itu menusuk sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api berpercikan.
Dewa Maling Baju Hitam kaget bukan main. Dia hampir tak melihat kapan lawannya itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu sudah berada di tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula! Memang dalam ilmu pedang, Mapatih Jayengrono memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Pada umur tigapuluh lima tahun dia sudah dijuluki sebagai "Raja Pedang Dari Pajang" dan kini dalam umur setengah abad lebih ternyata ilmu kepandaiannya semakin tinggi!
Meski Dewa Maling terkejut bukan main, tapi sang patihpun tak kurang kagetnya. Sewaktu bentrokan senjata tadi, lengannya tergetar keras dan kesemutan. Bahkan ketika ditelitinya salah satu bagian mata pedangnya telah rompal akibat beradu dengan Tombak Trisula!
Melihat betapa ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih Jayengrono maklum bahwa saat itu dia tak boleh membuang-buang waktu. Maka begitu menyerang dia segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat dan selama ini menggetarkan dunia persilatan di Jawa Tengah!
Di lain pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu silat bersenjata dia hanya akan sanggup melayani Raja PPdang Dari Pajang itu dalam tempo yang singkat. Untuk itu dia harus mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam pedang lawan dengan Tombak Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ dengan mempergunakan tipu muslihat! Namun meski bagaimanapun kegusaran yang ada di hati Dewa Maling membuat laki-laki ini memutuskan untuk melayani terlebih dulu sang patih sampai beberapa puluh jurus. Demikianlah maka kedua orang berilmu tinggi itu saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam. Dua puluh jurus berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di bawah angin. Serangan pedang lawan datang bertubi-tubi, kadang-kadang mencurah laksana air hujan.
"Bangsat tua ini lihay betul!", maki Dewa Maling Baju Hitam dalam hati. Dalam keadaan begitu rupa dia melompat menjauhkan diri seperti orang yang hendak mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana, manusia jahat?!", bentak Mapatih Jayengrono. Lalu dengan satu gerakan kilat memburu melompat dan mengirimkan dua bacokan ganas. Namun sekali ini sang patih telah tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa Maling tadi sama sekali bukan untuk melarikan diri, tapi justru untuk memancing lawan. Sewaktu Jayengrono melompat ke arahnya dengan membacokkan pedang, laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling melompat ke samping lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian tubuh sebelah bawah lawan yang tidak terjaga.
Karena bacokannya mengenai tempat kosong dengan sendirinya serangan balasan Dewa Maling membahayakan sekali bagi Jayengrono. Derigan sebat patih ini membabatkan pedangnya ke bawah karena dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya bagi dia untuk dapat menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang di kehendaki oleh lawannya. Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling dengan keras memukulkan Tombak Trisula ke atas menyongsong senjata lawan! Raja Pedang Dari Pajang terkejut namun kasip. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan senjata tersebut.
"Trang!"
Pedang di tangan Mapatih Jayengrono patah dua. Jayengrono cepat melompat mundur sedang di hadapannya Dewa Maling tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak Trisula di depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono! Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan bahwa kau tak bakal melihat matahari esok pagi!".
Dewa Mating menerjang ke muka.
Tombak Trisula berkiblat menderu. Jayengrono berusaha menangkis sedapat-dapat nya dengan sisa patahan pedang yang masih ada di tangannya sedang tangan kiri melepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. .
"Keparat!" maki Dewa Maling karena dia tak menyangka kalau lawan yang sudah tak berdaya itu masih memiliki pukulan sakti yang hampir saja menghantam dirinya kalau dia tidak lekas-lekas menyingkii dan memaksanya membatalkan serangan mautnya tadi!
"Walau bagaimanapun kau tak bakal bisa membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri jahat!" kata Jayengrono yang masih besar nyalinya meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa sudah cukup lama melayani patih Pajang itu. Dari dalam baju hitamnya yang terlindung oleh pakaian hulubalang dikeluarkannya sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua tangan terpentang Jayengrono menunggu waspada. Senjata di tangan kiri lawan merupakan senjata aneh baginya. Tiba-tiba Dewa Maling meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling itu di ujung bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk anak telinga menggema di keheningan malam. Asap hijau yang ditaburi manik-manik merah menyala mencurah ke arah Jayengrono. Dalam kagetnya patih Pajang ini tak sempat lagi menyingkir. Begitu asap hijau bertabur manik-manik merah menyambar hidungnya, patih ini terbatuk-batuk, dari tenggorokannya terdengar suara seperti mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya tubuhnya tergelimpang pingsan.
Dewa Maling Baju Hitam tertawa perlahan. "Jayengrono, kalau aku tidak membunuhmu sekarang bukan berarti aku memiliki belas kasihan tefiadapmu! Racun jahat yang ada dalam tubuhmu akan membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu akan tersiksa, dan itu jauh lebih jahat dari pada kematian!"
Kembali Dewa Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan memboyong Tombak Trisula, dia berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu sejauh seratus tombak, satu bayangan putih entah dari mans datangnya tahu-tahu sudah berada di tempat itu. Melihat sosok tubuh patih Jayengrono yang terhampar di tanah, orang ini memaki.
"Sialan, aku terlambat!"
***
Next ...
Bab 10
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424


0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 9"
Posting Komentar