WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
SEBELAS
"PANDEMANG! Tahan dulu," seru Pangeran Ranablambang.
Mau tak mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan gerakannya. Dia berpaling dan bertanya heran.
"Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun tuli tapi dia tokh tidak buta, Pangeran!"
Ranablambang mengambil sekeping uang perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan kaki pemuda yang duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda, kalau kau hanya seorang pengemis, ambillah uang itu dan menyingkirlah lekas!"
Si pemuda menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya kini keluar suara tertawa membahak, membuat dua ekor kuda yang ada di situ menjadi gelisah dan mengeluarkan suara ringkikan ketakutan.
"Apa kata hamba, Pangeran! Pemuda ini memang pantas diberi hajaran!" kata Pandemang.
Ranablambang kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga sewaktu pembantunya itu kembali mengayunkan tangan memukul kepala si pemuda, dia tak menghalangi lagi.
"Braak!"
Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi Pandemang. Entah kapan si pemuda bergerak, tahu-tahu pukulan Pandemang meleset dan menghantam pohon di belakangnya hingga patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh kesakitan. Tinju kanannya kelihatan merah lecet. Dan ini membuat laki-laki itu naik ke kepala amarahnya. Masih dengan mengandalkan tangan kosong Pandemang menerjang ke muka menyerbu si pemuda berpakaian putih.
Yang diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap serangan yang dilancarkan oleh Pandemang tak satupun mengenai sasarannya. Ini membuat Pandemang semakin naik pitam sedang lawannya terus menerus tertawa mengejek. Akhirnya Pandemang tak menunggu lebih lama lagi. Dua bilah golok besar yang senantiasa tergantung di pinggangnya kiri kanan dicabutnya. Sesaat kemudian sepasang senjata itu laksana hujan mencurah menderu-deru ke arah pemuda berbaju putih. Dalam keadaan begitu rupa si pemuda tak bisa main-main seperti tadi lagi. Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka. Didahului oleh suara siulan yang melengking tinggi laksana mau merobek gendang-gendang telinga, pemuda itu berkelebat. Di lain kejap tubuhnya lenyap menjadi bayangbayang dan Pandemang kini bingung sendiri karena tak dapat melihat di mana lawannya berada.
"Buuk!"
Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh menelungkup karena satu pukulan keras mendarat di punggungnya. Untung saja pukulan itu hanya mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya Pandemang akan konyol detik itu juga. Dengan beringas Pandemang membalikkan tubuh. Dua bilah goloknya membacok susul menyusul namun lagi-lagi dia hanya menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat memastikan di mana musuhnya berada, satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya. Pandemang mengeluh pendek. Perutnya mual seperti mau muntah. Ketika satu tamparan menghajar mukanya, tak ampun lagi laki-laki bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan menggeletak pingsan di tanah!
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tertegun heran di atas punggung kudanya. Dia tahu betul tingkat ilmu kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti yang dilakukan si pemuda.
"Pemuda rambut gondrong! Siapakah kau sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku adalah Ranablambang!", jawab pemuda itu seenaknya dengan cengar cengir, lalu meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin menjadi raja! Yang telah mencuri Tombak Trisula tumbal kerajaan!".
Merahlah paras Ranablambang. Dihunusnya kerisnya dari balik pinggang. Lalu dengan gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda. Selagi tubuhnya melayang di udara dia sudah mengirimkan satu serangan yang hebat membuat pemuda rambut gondrong terpaksa buruburu menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan yang seru di jalan kecil itu. Ternyata Ranablambang lebih tinggi ilmu silatnya dari Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit. Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu silat yang dimainkannya licik dan berbahaya. Kalau saja lawannya tidak hati-hati dan berpengalaman mungkin sudah sejak tadi tadi dia mendapat celaka. Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin Ranablambang masih belum berhasil untuk merobohkan lawannya. Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi lawan pada jurus ketigapuluh-dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula. Dengah keris di tangan kiri dan tombak Trisula di tangan kanan dia melanjutkan menggempur si pemuda.
"Ha . . . ha … ! Senjata curian yang hendak kau andalkan Pangeran! Sungguh keterlaluan!" ejek pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit dijangkaunya golok besar milik Pandemang. Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu disapukannya terdepan. Ranablambang mengelak cepat dan dari samping mengirimkan satu tusukan keras dengan Tombak Trisula. Tapi dia kaget karena lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam kebingungan begitu rupa satu benda keras menghantam kepalanya sebelah belakang. Sang Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan mandangan berbinar-binar. Tanah yang dipijaknya, laksana amblas dan sesaat kemudian dia tergelimpang pingsan menyusul Pandemang. Pemuda berambut gondrong tertawa perlahan. Diambilnya Tombak Trisula dari genggaman Ranablambang; lalu diselipkannya di pinggang di balik bajunya.
***
Para pengawal di pintu gerbang Kotaraja sebelah timur terkejut dan juga heran sewaktu menyaksikan seorang pemuda asing dengan menunggangi kuda membawa dua sosok tubuh yang diletakkan di atas punggung seekor kuda gandengan. Kejut serta keheranan mereka bertambah lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang ada di punggung kuda gandengan itu adalah Pangeran Ranablambang dan pembantunya yang bernama Pandemang.
"Bukalah pintu gerbang!", kata si pemuda.
Di saat itu selusin pengawal sudah mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk menangkapnya.
"Turun dari kuda dan serahkan dirimu lekas!" kata pemimpin pengawal.
Si pemuda memaki dalam hati.
"Para pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! Karena itu jangan banyak bacot! Lekas buka pintu gerbang! Aku harus menghadap Mapatih Jayengrono selekasnya!"
"Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan darurat! Tidak sembarang orang boleh masuk! Apa lagi kau datang membawa Pangeran Ranablambang beserta pembantunya dalam keadaan begini rupa!"
"Bicaramu keren amat, sobat!" ujar si pemuda rambut gondrong. "Sekali kuadukan pada Mapatih Jayengrono pasti kau bakal mendapat hukuman!"
"Tak perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!"
"Kalian mau buka pintu gerbang ini atau tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret! Berani membentak!" damprat kepaIa pengawal lalu melompat untuk menyentakkan kaki pemuda itu. Namun sebelum maksudnya kesampaian si pemuda telah lebih dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga tubuhnya mencelat mental dan jatuh duduk di tanah!
Melihat itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pedang masing-masing dan mengeroyok si pemuda sementara seorang prajurit pengawal lainnya menyelinap masuk ke Kotaraja guna melaporkan kejadian itu pada atasannya.
Ketika lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka amat terkejut menyaksikan bagaimana sepuluh prajurit pengawal berhamparan di depan pintu gerbang. Ada yang merintih kesakitan, ada yang menggeletak pingsan sedang pemuda rambut gondrong masih tetap berada di punggung kuda dengan senyum-senyum kecil seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di situ!
"Orang gendeng!" bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya dia segera mencabut pedangnya membabat ke depan! Lima senjata maut berkelebat kencang!
"Tahan!" terdengar satu bentakan memerintah keras.
Lima hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang datang adalah seorang lakilaki yang sudah berumur tapi masih kelihatan gagah. Melihat orang ini, pemuda rambut gondrong segera melompat turun dari atas kudanya dan menjura hormat seraya berkata:
"Mapatih Jayengrono… aku yang rendah datang untuk menepati janji yang kutulis malam tadi."
Mula-mula Jayengrono keheran-heranan atas ucapan pemuda yang tak dikenal itu. Namun bila dia ingat apa yang dialaminya semalam, segera dia sadar.
"Apakah kau Pendekar 212 …?" sang patih bertanya.
"Betul, Mapatih," jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
Jayengrono memandang berkeliling pada para hulubalang dan pengawal-pengawal pintu gerbang yang mulai siuman. "Kalian ceroboh semua! Tidak mengenali siapa adanya pemuda ini!
Dialah yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan Tombak Trisula yang telah dicuri itu!"
Tentu saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ menjadi kaget bukan main. Mana mereka menyangka kalau, si pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini sangat terkenal dalam dunia persilatan. Dengan cepat mereka membuka pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono membawa Wiro Sableng ke gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadap-hadapan Jayengrono segera bertanya. "Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan kembali Tombak Trisula?"
Wiro Sableng mengangguk. Dari balik baju putihnya dikeluarkannya Tombak Trisula. Jayengrono menerima senjata itu. Setelah menelitinya sebentar, berserulah Mapatih Pajang itu.
"Ini Tombak Trisula palsu!"
Wiro Sableng terkejut dan tersentak dari kursinya.
"Bagaimana Mapatih tahu …?" tanya Pendekar 212.
"Sepintas lalu memang kelihatan seperti yang asli," kata Jayengrono. "Tapi jika diperhatikan akan kentara sinarnya redup dan buatannya kasar! Kalau kau tak percaya lihat aku buktikan!"
Jayengrono mengambil sebilah pedang pajangan yang tergantung di dinding ruangan itu. Dengan pedang itu kemudian ditetaknya Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung terpotong dua!
"Lihat!" kata Jayengrono pula. "Pedang mustika milikkupun tak mungkin bisa memapas Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pedang biasa sanggup memotongnya jadi dua!"
"Kalau begitu aku telah tertipu!" kata Wiro Sableng sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong. Dan di dalam hati pemuda ini memaki setengah mati.
"Aku tak salahkan kau, Pendekar 212." berkata Mapatih Jayengrono, "sebelumnya kau tak pernah melihat Tombak Trisula yang asli . . . . ". Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya bertanyalah Jayengrono. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita bisa tanyai mereka," menganjurkan Wiro.
Jayengrono menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke ruangan itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh masing-masing.
"Pangeran Ranablambang," kata Mapatih Jayeiigrono yang masih mau menyebut "pangeran" terhadap pengkhianat itu, "karena kedokmu sudah terbuka tak ada gunanya. kau bersembunyisembunyi lagi. Jawablah setiap pertanyaanku dengan jujur. Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?!"
"Apa?!"
"Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang yang bermuka kecil tekung itu memandang tepat-tepat pada Jayengrono, lalu pada potongan-potongan tombak yang menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya berkata, "Aku tidak mengerti maksudmu".
"Kau lihat potongan senjata itu? Bentuknya persis seperti Tombak Trisula tapi adalah palsu!"
"Palsu atau tidak itu bukan urusanku, Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Ketika kau kutangkap tombak tersebut ada padamu dan temyata palsu. Kau atau si pencurikah yang telah menukarnya dengan yang palsu?" yang berkata ini adalah Wiro Sableng.
"Orang gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi menjawab pertanyaan orang gila!"
Wiro Sableng tertawa perlahan dan menjawab. "Bagaimanapun gilanya diriku, tapi aku tidak segilamu, Ranablambang. Seluruh Pajang tahu kalau kau cuma anak seorang gundik. Tapi mengapa menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu berhasrat hendak jadi raja pula! Mana yang lebih gila, aku atau kau?!"
Merahlah muka Ranablambang mendengar ucapan itu.
"Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!" sentak Jayengrono.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan berdalih, Pangeran!"
"Kalau dia tak mau menjawab secara baik-baik, aku ada cara yang paling bagus untuk membuatnya bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih," membuka suara Pandemang. "Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia betulbetul tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan yang palsu".
"Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?" tanya Wiro Sableng.
"Bangsat rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!", kata Pandemang mendesis.
"Sebelum kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu kau punya batang leher sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!" bentak Jayengrono.
"Aku tak mau bicara!" jawab Pandemang.
"Baik, tak apa", kata sang patih pula. Dipanggilnya beberapa orang hulubalang lalu di suruhnya jebloskan kedua orang itu ke dalam penjara.
"Aku mempunyai dugaan, Mapatih", kata Wiro Sableng begitu dia tinggal berdua dengan Jayengrono.
"Dugaan apa?"
"Mungkin sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak Trisula yang asli lalu kepada Ranablambang diserahkannya yang palsu . . . .".
"Dugaanmu bukan mustahil," ujar Mapatih Jayengrono. "Bisakah kau membantuku kembali untuk mendapatkan Tombak Trisula yang asli itu?".
Sebagai jawaban Wiro Sableng berdiri lalu berkata, "Akan aku usahakan, Mapatih."
"Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau tidak aku bisa berabe!"
"Jangan kawatir Mapatih, mudah-mudahan berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun ruangan itu mempunyai pintu untuk keluar masuk tapi pemuda ini dengan seenaknya memilih jendela untuk jalan lewat meninggalkan ruangan tersebut.
***
Next ...
Bab 12
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424


0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 11"
Posting Komentar