WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
TUJUH
DI MALAM yang gelap gulita tanpa bintang tanpa rembulan, hanya angin malam yang bertiup menyilir dingin, kelihatan satu sosok bayangan hitam berkelebat gesit di luar tembok kota-raja. Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan tanpa diketahui oleh lima orang pengawal yang ada di situ, sosok tubuh itu melompat ke atas tembok yang tingginya enam tombak, dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja, melompat dari satu pohon ke lain pohon, dari satu atap rumah ke lain atap rumah sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada di wuwungan Istana!
Siapakah manusia yang demikian hebat ilmu mengentengi tubuhnya hingga sanggup melompat di atas atap dan dari pohon ke pohon begitu rupa? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus kembali pada tiga hari sebelumnya.. . .
Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak setengah hari perjalanan dari Muntilan, pada tengah malam yang kelam pekat, dalam sebuah pondok berdinding kayang beratap rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh kecil, bermuka cekung. Dia memelihara kumis yang tebal melintang berkeluk ke atas. Demikian tebalnya dia punya kumis hingga amat tidak pantas dibandingkan dengan mukanya yang kecil cekung. Sepasang matanya yang besar senantiasa tak bisa diam, berputar-putar ke segenap , penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa ketidaksabaran menyamaki dirinya.
"Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa dia masih belum muncul?" laki-laki berkumis melintang itu bertanya pada seorang yang bertubuh tinggi besar di sampingnya bertampang keras kasar. Di pinggangnya kiri kanan tersisip masing-masing sebilah golok empat persegi besar macam golok pejagal temak. Rambutnya gondrong, memelihara kumis serta berewok.
"Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran," jawab orang bertubuh tinggi besar bernama Pandemang. "Tapi percayalah, dia pasti datang menepati janjinya. Bukankah kita sudah memberikan uang serta perhiasan banyak padanya?"
"Bukan kita, tapi aku!" tukas si kumis melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya, aku," kata Pandemang pula.
"Aku, aku, bukan aku kau!" berkata lagi Pangeran itu.
"Ya, maksud hamba Pangeran," kata Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah tahu dan terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang seperti itu, keras, kepala, lekas marah dan tak boleh bicara salah terhadapnya hadapnya meski kebanyakan dia sendiri yang tidak mengerti dimaksud orang.
"Aku tunggu sampai sepeminuman teh lagi," kata Pangeran itu, "kalau dia masih belum datang, terpaksa kubatalkan rencana semula. Dan kau Pandemang, kau harus minta kembali uang serta perhiasan itu padanya
"Ah …. ah …. ah …. ! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini, Pangeran Ranablambang!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang dan Pandemang sama-sama berbalik dengan cepat dan astaga! Orang yang mereka tunggu-tunggu temyata sudah duduk menjelepok enak-enakan di sudut pondok di belakang mereka dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu menjadi bergetar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa tahu kami?" tanya Ranablambang heran. Pangeran ini dan juga Pandemang bukanlah orang-orang yang tidak tahu ilmu silat dan kesaktian. Telinga dan mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang mereka tunggu sudah nyelonong masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke atas. "Lewat atap itu," katanya menjawab pertanyaan Pangeran Ranablambang seraya menunjuk ke atap pondok. Dan ketika sang Pangeran serta Pandemang memandang ke atas kelihatanlah bagaimana atap pondok itu sudah berlobang besar!
Pangeran Ranablambang jadi melengak.
"Tak percuma kau digelari Dewa Maling Baju Hitam," katanya kemudian. Si baju hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu berdiri dengan perlahanlahan.
"Sebaiknya kita mulai saja dengan urusan kita Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang sebenarnya menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-laki berpakaian hitam itu lalu berkata dengan amat pelahan. "Aku ingin kau mengambil Tombak Trisula dari kamar Sri Baginda d Istana . . . . "
"Tombak Trisula?!" ujar Dewa Maling.
"Sst…jangan bicara keliwat keras!" ujar Pangeran Ranablambang. "Kau harus berhasil Dewa Maling. Tombak itu sangat kubutuhkan agar aku bisa menduduki singgasana. Karena memasuki Istana tidak gampang, apalagi senjata itu di simpan di satu tempat rahasia di dalam kamar Sri Baginda."
"Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil mengambil senjata yang kau inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan menganggap remeh orang-orang di Istana," kata Ranablambang mendesis. "Kau dengarlah penjelasanku. Tiga langkah dari pintu kamar Sri Baginda terdapat sebuah lampu kuna yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada sebuah paku besar. Tekanlah paku itu tiga kali berturut-turut maka dinding kamar yang terletak di depan lampu itu yaitu pada bagian atas kepala peraduan Baginda akan terbuka dan di dalamnya ada sebuah lemari besi. Lemari ini tidak mempunyai kunci tapi hanya akan terbuka bila kau menekan sebuah tombol merah di bagian samping kanannya. Di bagian ini terdapat dua belas buah tombol merah. Ingat, yang harus kau tekan ialah tombol merah yang kesembilan dari tepi muka lemari. Bila tombol itu sudah kau tekan—cukup satu kali tekan saja—maka pintu lemari besi akan terbuka dan di dalamnya kau dapat melihat Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan kau segera mengambilnya. Begitu lemari terbuka, akan terdengar, suara mendesis halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus tunggu sampai sebuah tombol putih muncul dengan sendirinya di bagian atas lemari sebelah dalam. Sesudah itu baru kau bisa mengambil Tombak Trisula. Dan sebelum pergi jangan lupa
"Tunggu dulu!" bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula tubuhnya melesat menembus lobang atap dan lenyap di luar sana.
"Ada apa?!", seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang terkejut. Keduanya cepat membuka pintu dan melompat keluar. Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana terbang ke jurusan selatan.
"Kalian tunggu saja di pondok!" masih terdengar suara Dewa Maling di kejauhan sebelum tubuhnya lenyap ditelan kepekatan gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan pembantu kepercayaannya cuma bisa saling pandang penuh tanda tanya di dalam hati masing-masing. Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah tetap menunggu di pondok tersebut sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling Baju Hitam. Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali dan segera dihujani pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta Pandemang begitu mereka masuk ke pondok.
"Waktu kau memberi keterangan tadi," kata Dewa Maling, "aku melihat bayangan seseorang di atas atap sana. Aku melompat ke atas tapi aneh begitu sampai di luar, orang itu lenyap! Aku tak percaya kalau pemandangan telah menipuku. Karenanya seluruh daerah ini kuselidik, tapi tetap bangsat itu tak berhasil kutemui!".
"Mungkin sekali dia mata-mata Mahapatih," kata Pandemang.
Ketiga orang itu berdiam diri beberapa lamanya… Kemudian kelihatan Pangeran Ranablambang menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin", katanya, "tak seorang mata-mata kerajaanpun yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa kita ketahui. Apalagi dengan hadirnya Dewa Maling di sini!"
"Kurasa mungkin aku salah lihat", kata Dewa, Maling. Maksudnya berkata demikian ialah agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam segala macam dugaan itu. Meski hatinya sendiri kurang enak, Dewa Maling kemudian berkata. "Lanjutkanlah keteranganmu, Pangeran."
"Sesudah tombol putih muncul di dalam lemari sebelah atas kau baru boleh mengambil Tombak Trisula itu. Dan sebelum pergi jangan lupa untuk menekan lebih dulu tombol putih itu."
"Pangeran," kata Dewa Maling Baju Hita pula, "jika kau tahu dengan jelas seluk beluk penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu, mengapa tidak kau sendiri yang mencurinya?"
Pangeran Ranablambang memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa pelahan. "Masing-masing kita sudah ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas sendiri-sendiri."
katanya. Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal itu karena Istana penuh dijaga oleh pengawal-pengawal klas satu dan hulubalang-hulubalang istimewa yang berilmu tinggi. Di atas semua itu Mahapatih Jayengrono adalah yang berbahaya. Sekali saja dia gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan pencurian itu pasti tamatlah riwayatnya.
"Perlu aku ingatkan padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan orang-orang berkepandaian tinggi, terutama Mahapatih Jayengrono. Jangan kau salah tindak karena Istana terutama kamar Sri Baginda penuh dengan alat-alat rahasia".
"Sri Baginda bagaimana?"
"Dia tak perlu kau kawatirkan. Dia tengah mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya Pangeran," kata Dewa Maling pula.
"Kau tak perlu kawatir!" kata Pangeran Ranaolambang. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
"Terima ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah berhasil menjalankan apa yang aku perintahkan, kau bakal mendapat jabatan tinggi dalam Istana!".
Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu. Disimpannya di balik pakaian hitamnya.
"Kalau Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran Ranablambang mengatakan nama tempat maka sesaat kemudian ketiga orang itu meninggalkan pondok tersebut.
Pangeran Ranablambang adalah putera Sri Baginda yang memerintah Kesultanan Surakerto pada masa itu. Sebenarnya dia tidak boleh memakai gelar atau sebutan Pangeran karena dia cuma seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun dengan penuh congkak dan ketinggian hati Ranablambang telah mempredikatkan dirinya dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu diuntung, meski dia tak punya hak untuk menggantikan Sri Baginda, namun di hatinya sudah sejak lama bergejolak niat untuk menduduki singgasana. Maka ketika diketahuinya bahwa setiap pewaris takhta kerajaan harus menerima Tombak Trisula sebagai syahnya dia menjadi Raja, segera diaturnya rencana untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Untuk melakukannya sendiri Ranablambang tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian yang tinggi. Maka melalui seorang pembantu kepercayaannya yakni Pandemang, disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh silat golongan hitam yang dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
***
Next ...
Bab 8
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424


0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 7"
Posting Komentar