Sepasang Iblis Betina Bab 8

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 014
Sepasang Iblis Betina

DELAPAN
DENGAN mengandalkan ilmu lari serta ilmu meringankan tubuhnya ditambah dengan pakaian hitam dan kegelapan malam yang turut membantunya, dengan mudah pada akhirnya Dewa Maling sudah berada di atas wuwungan Istana. Meski dia sudah diberi tahu jelas setiap liku-liku Istana dan tempat penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak mau memandang enteng orangorang yang ada di dalam Istana. Terutama Mahapatih Jayengrono yang berumur setengah abad lebih itu, ilmu kepandaiannya tak bisa dibuat main!
Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat kira-kira lima puluh orang pengawal tingkat rendah berada di sekeliling Istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua puluh hulubalang yang berkepandaian tinggi.
"Berabe juga," kata Dewa Maling dalam hati. Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana seekor burung walet dia melompat ke satu bagian yang gelap di halaman samping Istana. Dengan mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali totok saja pengawal itu sudah tak berdaya. Di tempat gelap di bukanya pakaian pengawal itu lalu setelah membuka pakaiannya pula, dengan cepat dikenakannya pakaian si pengawal.
Di tangga Istana di temuinya seorang hulubalang. Setelah menjura pada hulubalang itu dia berkata, "Mapatih Jayengrono mengharapkan kedatangan hulubalang dengan segera karena ada satu urusan penting."
Karena yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya tentu saja sang hulubalang tidak menaruh curiga.
"Di mana Mapatih berada?"
"Ikutilah saya," jawab si pengawal alias Dewa Maling.
Maka hulubalang itupun mengikuti pengawal tersebut. Sampai di tempat gelap Dewa Maling tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan secepat kilat menotok pangkal leher sang hulubalang. Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya. Dengan menyamar sebagai seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling memasuki Istana, langsung menuju di mana terletaknya kamar Sri Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua orang hulubalang berkepandaian tinggi. Dewa Maling tidak takuti mereka. Tetapi membuat kekerasan sama saja dengan mengundang datangnya bahaya. Dengan langkah gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang itu.
"Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi Mapatih Jayengrono akan datang ke sini menggeledah kamar Sri Baginda," kata Dewa Maling.
Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya, "Memangnya ada apakah?"
"Kau yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu? Betul-betul keterlaluan kalian! Apa saja yang kalian buat di sini?".
Semakin heran kedua hulpbalang itu dan mereka bertanya lagi: "Ada apakah?!". .
"Seorang jahat di ketahui telah menyelinap masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa Maling pula. "Apa?!" ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
"Manusia-manusia tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di belakang kalian yang terbuka itu!"
Mendengar ucapan itu kedua hulubalang tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu kamar diutupkan kembali. Sesuai dengan keterangan Pangeran Ranablambang, tiga langkah di sebelah kanan pintu, pada dinding tergantunglah sebuah lampu dari perak bakar berukir-ukir bagus sekali buatannya. Dewa Maling Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu tergantung, tiga kali berturutturut. Di belakangnya erdengar suara barang bergerak. Ketika dia berpaling ilihatnya dinding kamar di atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka dan tampaklah sebuah lemari besi. Cepat Dewa Maling melangkah ke hadapan lemari. Di telitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tomboltombol merah di samping kanan lemari besi itu, emuanya ada 12 buah.
Dengan hati-hati Dewa Maling menekan tombol merah yang kesembilan dari sebelah muka lemari. Ia menunggu dengan berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan di dalamnya tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnyz bercabang tiga. Sinar senjata mustika tumbal kerajaan itu bukan saja menerangi seluruh lemari, tapi jugz menyeruak sampai•ke muka Dewa Maling, menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu terbuka, terde ngarlah suara mendesis. Begitu suara mendesis pada bagian atas lemari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah saat di mana Dewa Maling harus mengambil Tombak Trisula diulurkannya tangannya mengambil senjata mustika tumbal kerajaan itu.
Pada saat Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar dua orang hulubalang sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal pintu kamar Sri Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua hulubalang ini terheran melihat kamar itu tiada berpengawal sama sekali.
"Ke mana hulubalang-hulubalang yang seharusnva ada di sini?!" tanya salah seorang dari mereka.
"Aku kawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah ke ujung gang sebelah sana, aku akan memeriksa kamar Sri Baginda".
Dengan cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di dalam kamar, Dewa Maling yang bertelinga tajam telah mendengar percakapan kedua hulubalang itu. Maka dengan cepat dia menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu terbuka tubuhnya tertutup oleh daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu masuk ke dalam kamar Dewa Maling mengayunkan tinjunya ke batok kepala hulubalang itu. Dengan mengeluarkan keluhan pendek si hulubalang tersungkur di lantai. Dewa Maling cepat keluar dari kamar itu.
Tapi…!
Wutt…!
Angin keras menyambar perutnya. Dia terkejut bukan main dan terpaksa. melompat ke belakang mencari selamat. Yang menyerangnya ternyata adalah hulubalang yang tadi di sangkanya telah jatuh pingsan.
"Kurang ajar! Makan ini!" kertak Dewa Maling lalu mengirimkan satu tendangan ke dada lawan.
"Sret"!
Si hulubalang mencabut pedangnya dan memapas kaki Dewa Maling dengan senjata itu. Mau tak mau Dewa Maling terpaksa menarik pulang kakinya kembali. Dengan beringas dia melompat dan dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Namun lagi-lagi lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan menghantam lantai kamar. Permadani yang menutupi lantai itu robek bertaburan sedang lantai batu pualam hancur berkeping-keping dan seantero kamar bergetar laksana di goncang lindu!
Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan serangan. Pedangnya berkiblat empat kali berturut-turut!
"Setan alas!" maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya yang memegang Tombak Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang di tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu berseru kaget dan lekas melompat ke belakang. Namun lebih cepat dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur menusuk dadanya. Hulubalang tersebut mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya terguling di atas permadani dengan tiga lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa Maling menuju ke pintu dengan cepat. Justru pada saat itu hulubalang-hulubalang Istana yang berkepandaian tinggi tengah memasuki Antu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling memegang daun pintu dan membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak keburu mengelak. Dada dan tubuh mereka dihantam daun pintu dengan kerasnya. Ketiganya kontan roboh tak sadarkan diri dengan hidung masing-masing bercucuran darah!
Sewaktu Mapatih Jayengrono dan lima orang hulubalang sampai di kamar tersebut, Dewa Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
"Jaga dengan ketat seluruh tembok kotaraja!" kata Mapatih Jayengrono. Sehabis memberi perintah itu dia segera melompati jendela dan lenyap. Jayengrono berumur setengah abad lebih. Dalam ilmu dan kesaktian dia termasuk golongan tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan bahwa seorang maling tingkat tinggi pastilah tidak akan melarikan diri lewat jalan biasa. Karenanya, begitu tiba di halaman samping Istana, Jayengrono tak ayal lagi segera melompat ke atas wuwungan. Apa yang diduganya ternyata tidak meleset. Begitu dia menginjakkan kakinya di atas wuwungan, pada ujung atap Istana sebelah utara dilihatnya dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh berpakaian hulubalang. Sebelumnya Mapatih Jayengrono sudah diberi tahu bahwa pencuri yang menyusup ke dalam Istana itu menyamar atau berpakaian sebagai seorang hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham, Mapatih ini segera lari di sepanjang atap mengejar maling tersebut. Sementara itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan puluhan pengawal-pengawal tingkat tinggi telah bertebar berjaga-jaga di setiap sudut. Dapat dipastikan bahwa si pencuri tak akan bisa lolos begitu saja!
Sewaktu Mapatih Jayengrono sampai di ujung atap sebelah utara Istana, dia jadi amat penasaran karena orang yang dikejarnya lenyap tiada bekas. Di bawah dilihatnya dua orang hulubalang dan sembilan pengawal klas satu berjaga-jaya.
"Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa diketahui orang-orang di bawah sana", kata Jayengrono dalam hati. "Pasti dia bersembunyi di sekitar sini."
Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat di dengamya suara hiruk pikuk dan seruan, "Api! Api!"
Ketika Jayengrono berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap Istana tenggelam dalam kobaran api.
"Pengawal-pengawal klas II dan klas III lekas padamkan api! Yang lain-lain tetap di tempat! Ini adalah pancingan musuh!" teriak Jayengrono dengan suara lantang mengandalkan tenaga dalam hingga terdengar ke segala pejuru.
Dengan matanya yang tajam Jayengrono memandang teliti ke segenap penjuru, terutama ke tempat-tempat yang gelap.
"Heran, ke mana perginya maling itu." kata sang patih pada dirinya sendiri. Lalu berserulah dia, "Maling edan! Sebaiknya menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak mungkin bisa kabur!".
Baru saja Mapatih Jayengrono berseru demikian, mendadak di bawahnya terdengar teriakan, "Itu dia malingnya! Lekas kejarl Itu dia malingnya …. lekas kejar!"
Tak ayal lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di situ segera ikut mengejar. Mapatih Jayengrono segera pula hendak menggerakkan kakinya. Tapi sekilas pikiran timbul dalam benaknya yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap ditempatnya dan memandang ke bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu jelas dilihatnya hulubalang yang tadi berteriak dan menunding sambil berlari, memperlambat larinya hingga akhirnya dia tinggal seorang diri di belakang!
"Pasti dia bangsatnya!" kertak Jayengrono. Tanpa membuang tempo lagi dia melompat ke bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan benda berkilauan menyambar kearahnya. Temyata hulubalang dibawah sana telah melemparkan senjata-senjata rahasia kepada sang patih.
"Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!", teriak Javengrono.
Tangan kirinya dipukulkan kelawan. Belasan senjata rahasia yang menyerangnya berpelantingan. Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang bukan lain adalah Dewa Maling adanya.
"Jayengrono, kau memang cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!".
Dewa Maling Baju Hitam berkelebat ke tembok Istana yang saat itu sudah tak dijaga lagi karena hulubalang-hulubalang dan para pengawal telah berlarian mengejar "maling" yang tadi diteriakinya!
"Ayo kejar aku!" tantang Dewa Maling kembali begitu dia menginjakkan kakinya di atas tembok.
Sebagai jawaban, sambil melesat mengejar, Mapatih Djajengrono melepaskan satu pukulan tangan kosong yang hebat. Tembok Istana hancur berantakan, tapi Dewa Maling sudah lenyap dari situ. Hanya suara kekehannya terdengar di pohon besar di luar tembok Istana.
"Kurang ajar! Kau mau lari ke mana bah?!" kertak Jayengrono dan segera menyusul. Kedua orang itu untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di atas atap-atap rumah penduduk dan kemudian, untuk kedua kalinya Jayengrono kehilangan orang kejarannya itu di sebelah timur Kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling saat itu? Sesungguhnya dia tak berada iauh dari sang patih kerajaan Dengan mengandalkan ilmunya yang dinamakan "cecak merayap di atap",
Dewa Maling laksana seekor cecak "menempelkan" dirinya di bawah ujung atap rumah penduduk yang gelap!
Sewaktu dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa Maling bergerak kejurusan yang berlawanan dan akhirnya sampai di temook Kotaraja yang dikawal ketat. Para pengawal yang bertugas di sini disamping berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan tentang menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil mencuri senjata mustika tumbal kerajaan. Dewa Maling tidak takutkan pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren dia melangkah ke hadapan mereka dan membentak,
"Kalian kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-kawan kalian bertempur mati-matian di depan mesjid mengeroyok maling penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas bantu mereka! Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!"
Mendengar bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan banyak tanya para pengawal dan hulubalang-hulubalang yang ada di situ segera lari menuju ke tempat di mana dikatakan terjadi pertempuran hebat.
"Dasar manusia-manusia tolol!" ujar Dewa Maling penuh geli. Kemudian segera dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap di kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman teh berlalu Dewa Maling merasa ada seseorang yang mengejarnya di belakang. Dan belum sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan nyaring terdengar sejarak sepuluh tombak di belakangnya.
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
***

Next ...
Bab 9

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 8"

Posting Komentar