Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 13

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 007
Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin
TIGA BELAS
WAKTU mereka menghentikan lari masing-masing, ketiganya telah berada jauh di luar Kotaraja. Mereka saling pandang dan Wiro membuka pembicaraan dengan senyum di bibir.
“Sobat-sobat, ke mana kita sekarang?” Sekar tidak memberikan jawaban. Pranajaya memperhatikah paras gadis ini sebentar lalu berkata, “Aku akan terus ke timur. Ke Pulau Seribu Maut, mencari Cambuk Api Angin milik guruku yang telah dilarikan oleh Bagaspati!” Wiro manggut-manggut. Dia merenung sejenak lalu berkata, “Pulau Seribu Maut, Cambuk Api Angin. Bagaspati.. nama-nama yang hebat. Perjalananmu ke ujung Jawa Timur pasti merupakan suatu hal yang menarik. Saudara Prana, kau keberatan bila aku ikut bersamamu….?” Pranajaya berseru gembira.
“Memang itu yang aku harapharapkan Wiro. Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar didapat!” Wiro Sableng tertawa.
“Bagaimana dengan kau Sekar?” tanya murid Eyang Sinto Gendeng itu. Prana memandang lekat-lekat pada gadis itu. Di balik pandangannya itu tersembunyi suatu perasaan kecemasan. Dan perasaan itu semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro berkata, “Kau musti kembali ke tempat gurumu….” Tapi si gadis justru gelengkan kepala.
“Aku ikut bersamamu… bersama kalian…” kata Sekar. Wiro Sableng kerenyitkan kening.
“Pengalamanmu di Kotaraja kurasa cukup memberikan gambaran bagaimana penuhnya dunia ini dengan seribu satu macam bahaya dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau Seribu Maut pasti lebih berbahaya dari pengalamanmu di Kotaraja.”

“Apakah kau terlalu menganggap aku ini orang perempuan bangsa kurcaci yang takut segala macam bahaya?!” tukas Sekar. Wiro berpaling pada Pranajaya yang sampai saat itu masih memandang pada Sekar.
“Dia memang pintar omong!,” kata Wiro pula.
“Adatnya keras. Mautnya dia musti maunya juga! Urusan laki-laki mau disamakan dengan urusan perempuan….”
“Sudah!” potong Sekar seraya membalikkan badan memunggungi kedua pemuda itu. Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya.
“Yang aku khawatirkan,” kata Pendekar 212 pula, “kalau-kalau gurumu kelak akan salah sangka dan menduga kami yang menjebloskan kau ke dalam persoalan rumit penuh bahaya ini!”
“Soal guruku itu soalku dengan beliau. Yang penting sekarang kita sama-sama pergi ke Pulau Seribu Maut. Apa aku sebagai orang persilatan tidak boleh mencari pengalaman?”
“Tentu saja boleh” sahut Wiro sementara Pranajaya sampai saat itu tak sepatahpun membuka mulut selain memandang seperti tadi-tadi pada Sekar.
“Tapi sekarang belum saatnya,” menyambungi Wiro.
“Kau tak berhak melarangku Wiro. Siapapun tak berhak melarang ke mana aku mau pergi…!”
“Berabe! Berabe!” ujar Wiro Sableng.
“Bagaimana Prana, kita ajak dia…?” Pranajaya angkat bahu.
“Terserah padamu, Wiro.” Wiro Sableng tarik dan hembuskan nafas panjang.
“Baik Sekar, kau boleh ikut bersama kami! Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan kau dan kami tak sanggup- menolongmu, jangan kelak menyesalkan kami berdua…!” Maka tak lama kemudian ketiga orang itupun kelihatan berkelebat dan dengan mengeluarkan ilmu lari masing-masing mereka tinggalkan tempat itu dengan sangat cepat.
MALAM itu malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju Pulau Seribu Maut di ujung timur pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan dan bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu. Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api unggun lalu melangkah perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu duduk di sebuah batu besar, tengah melamun seorang diri. Prana datang mendekat. Untuk beberapa lamanya tidak satupun dari mereka yang bicara. Si pemuda memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan untuk membuka pembicaraan, “Bagus betul malam yang sekali ini.” Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya.
“Wiro belum kembali?” tanya gadis itu.
“Belum,” sahut Prana. Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu itu. Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula Wiro pergi. Dua malam yang lalupun pemuda itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana. Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal yang disengaja. Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari samping. Betapa indahnya paras itu dipandang dibawah naungan malam yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang.
“Kau masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapanku malam pertama yang lalu, Sekar…,” berkata Pranajaya. Suaranya sekali ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar suaranya itu. Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya.
“Apakah tak akan pernah ada balasan?” tanya Pranajaya. Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka mulut, “Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan Prana…“
Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu mengiang telinga Pranajaya kedengarannya Paras pemuda ini membeku merah. Ditundukkannya kepalanya.
“Kurasa bukan disitu sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar,” ujar pemuda itu pula
“Lalu….?”
“Kau mencintai dia…?” tanya Prana seberani mungkin.
“Dia siapa?”
“Tak usah berpura-pura….” Sekar memandang pemuda itu sebentar.
“Maksudmu Wiro?” tanyanya. Si pemuda anggukkan kepala. Sekar tertawa.
“Suara tertawamu aneh, Sekar,” bisik Pranajaya.
“Seolah-olah membenarkan pertanyaanku tadi.” Sekar diam.
“Aku memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Wiro….”
“Kau tak usah cemburu Prana”
“Terus terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya. Aku iri,” kata Pranajaya dengan hati laki-laki.
“Tapi kecemburuan dan iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku cemburu dan iri pada Wiro, tapi aku menghormati dan menghargainya sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku mengganggap Wiro bukan orang lain, tapi sudah sebagai saudara kandung sendiri….” Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapanucapannya.
“Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih utama dia adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus….. Jika kau mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup berdua dan berbahagia….”
“Antara aku dan Wiro tak ada hubungan apa-apa, Prana,” memotong Sekar.
“Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu.” Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya bulan sabit dan dia berkata .
“Mungkin, tapi kau tak bisa menipu dirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau mencintai dia…..” Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang mungil bagus.
“Aku tak ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut Prana.”
“Jadi tak ada jawaban darimu? Tak ada jawaban berarti suatu penolakan Sekar…” Sepi menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya. Dipandanginya paras Sekar seketika. Dan bila tak ada juga jawaban dari gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya. Di pandanginya tubuh yang berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu mulutnya mernanggil,
“Prana…” Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua kaki Pranajaya berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si pemuda palingkan kepala. Diantara keputus-asaan yang menyelimuti wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan. Dan matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan selanjutnya.
“Prana…..”
“Ya, Sekar…”
“Bersediakan kau menunda pembicaraanmu ini sampai berakhirnya tugasmu di Pulau Seribu Maut nanti…?”
Si pemuda.merenung sejenak. Lalu jawabnya, “Aku bersedia Sekar meski aku tahu mungkin tak ada harapan sama~sekali bagiku….”
“Mungkin yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan, Prana,” kata Sekar.
Pranajaya murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging dibibirnya.
“Kuharapkan saja demikian, Sekar,” kata Prana. Lalu ditinggalkannya tempat itu.
***
Next ...
Bab 14

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


Related Posts :

0 Response to "Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 13"

Posting Komentar