Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 12

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 007
Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin
DUA BELAS
MANUSIA yang berteriak itu adalah seorang laki-laki berkepala sangat besar dan botak tapi berbadan kecil dan pendek. Namanya Gonggoseta. Pandangannya bengis dan membayangkan maut! Pranajaya, Sekar dan Wiro Sableng memandang berkeliling memperhatikan manusia-manusia itu satu demi satu.
“Celaka sobat,” bisik Pranajaya.
“Mereka pastilah tokohtokoh silat kelas satu, orang-orangnya Istana!”
“Kita memang lagi sialan,” gerendeng Pendekar 212. Sepasang matanya dengan tenang menyapu delapan sosok tubuh manusia-manusia aneh yang terpencar mengurung mereka. Orang kedua sesudah Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang hanya mengenakan cawat dan keseluruhan tubuhnya mulai, dari kaki sampai ke muka dicoreng moreng dengan sejenis cat berbagai warna. Tampangnya mengerikan untuk dipandang. Namanya Bagulpraksa tapi dia lebih dikenal dengan julukan Harimau Siluman. Manusia ketiga bernama Sangaji, bertubuh tinggi langsing kurus dan berjanggut biru. Di dunia persilatan dia dikenal dengan gelar Si Janggut Biru. Yang ke empat, yang berdiri di ujung kanan sendirian agak terpisah dari lain-lainnya ialah seorang neneknenek tua keriput bertelinga lebar. Telinganya yang lebar ini membuyut ke bawah dan kelihatan jadi tambah lebar karena diganduli oleh anting-anting aneh yang besar luar biasa dan berbentuk arit. Dia bukan lain tokoh silat Istana yang dikenal dengan nama julukan Si Telinga Arit Sakti. Wiro sapukan pandangannya pada tokoh silat lain yang berada di sebelah kiri ini berdiri memencar empat orang lainnya. Yang pertama seorang laki-laki berjubah hitam tapi yang mukanya dicat putih sehingga tampangnya cukup menggidikkan untuk dipandang! Jika tidak salah menduga, menurut keterangan yang pernah didengar Pendekar 212 maka manusia ini adalah Hantu Hitam Muka Putih tokoh silat golongan hitam yang berhati sejahat iblis! Orang yang selanjutnya berdiri dengan tubuh terbungkukbungkuk. Sepuluh kuku-kuku jarinya panjang sekali dan berwarna hitam legam. Dialah Si Cakar Iblis tokoh silat yang merajai daerah selatan Jawa Timur! Manusia ke tujuh adalah satu-satunya marusia yang dikenal oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe manusia yang muncul sewaktu dia hendak diseret oleh Tiga Setan Darah ke Kotaraja beberapa waktu yang lalu! Cindur Rampe seorang resi kejam yang juga memelihara janggut kambing berwarna putih. Manusia terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak dan berambut panjang macam perempuan, digulung di atas kepala! Namanya tidak satu orangpun yang tahu. Dia dikenal dengan julukan Si Picak Dari Utara. Jelaslah bahwa ke delapan orang itu bukan manusiamanusia sembarangan. Ini segera diketahui oleh Wiro dan kawankawan. Bagi mereka yang delapan ini lebih berbahaya dari lima puluh prajurit-prajurit Kerajaan yang mengurung halaman gedung itu! Si kepala besar badan kecil. pendek Gonggoseta maju selangkah kehadapan kehadapan ketiga orang itu dan membuka mulut lagi, “Kalian semua musti mampus di sini! Kalian dengar tikus-tikus bermuka manusia?!” Pendekar 212 Wiro Sableng memandang sebentar pada Sekar dan Pranajaya lalu kemba ia palingkan muka menghadapi Gonggoseta. Dan disaat itu Gonggoseta kembali membentak, “Kalian hanya diberi kesempatan untuk menerangkan nama masing-masing agar tidak mampus secara penasaran!”
Wiro Sableng mengulum senyum dan buka mulut dengan suara lunak, “Ah, rasa-rasanya kami yang disebutkan tikus-tikus bermuka manusia ini tidak mempunyai permusuhan dengan sobat-sobat semua.”
“Sompret!” semprot Gonggoseta.
“Jangan sebut kami sobatsobatmu!” Wiro garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut.
“Lantaran apakah yang membuat kalian semua ingin jiwa kami?! Kenalpun baru hari ini!” Gonggoseta tertawa melengking dan memandang pada kawan-kawannya.
“Sobat-sobatku!” serunya, “kalian dengar omongan tikus gondrong itu?! Mereka tak ada permusuhan dengan kita! Tidak mengerti mengapa kita semua inginkan jiwa mereka! Cuah!” Gonggoseta meludah ke tanah!
“Apa kalian masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Ah,” Wiro angkat bahu, “justru itu memang yang kami kepingin tahu!” Gonggoseta kembali keluarkan tertawa melengking.
“Aku Gonggoseta..,” dia terangkan nama lalu satu demi satu menyebutkan nama atau gelar tujuh orang kawannya.
“Kami semua adalah tokoh– tokoh Istana, hulubalang-hulubalang Kerajaan!” Wiro Sableng manggut-manggut.
“Tidak disangka-sangka…,” ujar pendekar ini.
“Setan alas, apa yang tidak kau sangka!” sentak Gonggoseta sementara kambrat-kambratnya yang lain tetap menunggu dengan tenang.
“Tidak disangka-sangka kalau hari ini kami akan bertemu dengan tokoh-tokoh silat Istana! Dengan tokoh-tokoh yang berjulukan hebat semua! Sungguh satu kehormatan bagi kami!” Gonggoseta tertawa melengking. Kawan-kawannya terdengar menggerendeng.
“Cuma kami belum tahu, urusan apakah yang membuat kalian semua inginkan jiwa kami?!” tanya Wiro.
“Tikus busuk! Jangan pura-pura tidak tahu! Kalian telah membunuh Setan Pikulan dan Tiga Setan Darah. Mereka adalah kawan-kawan kami!”
“Kalian salah sangka!” jawab Wiro cepat.
“Kami tidak membunuh Setan Pikulan…”
“Jangan jual kentut!” hardik Gonggoseta. Wiro Sableng tertawa, “Siapa yang jual kentut!” jawabnya.
“Kentut puteri yang paling cantikpun dijagat ini tak ada yang orang akan mau beli!” Paras Gonggoseta dan tujuh kawannya menegang membesi. Ini adalah satu penghinaan! Mereka dipermain-mainkan! Di lain pihak Pranajaya menggigit bibir! Bagaimana Wiro masih bisa bergurau menghadapi bahaya macam begini?! Pemuda bertangan buntung ini sudah sejak tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat pesan gurunya. Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat berilmu tinggi. Berurusan dengan mereka berarti mati! Prana melirik pada Sekar. Gadis baju kuning ini dilihatnya juga berada dalam ketegangan. Gonggoseta maju lagi selangkah!
“Sret!”
Dari balik punggungnya manusia kepala besar ini cabut sebilah golok empat persegi panjang yang lebarnya satu setengah jengkal! Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari sore!
“Sebut nama kalian masing-masing cepat! Atau kalian mampus penasaran!”
“Dengar Gonggoseta,” menyahuti Wiro Sableng.
“Kami tidak dusta, kami sama sekali tidak membunuh Setan Pikulan.”
“Jika bukan kalian lantas siapa?! Juga siapa yang membunuh Tiga Setan Darah di dalam sana?!” Wiro angkat bahu.
“Mana kami tahu,” jawabnya Dia memandang ke langit di sebelah barat.
“Gonggoseta, hari sudah sore. Matahari sebentar lagi mau tenggelam. Beri kami jalan. Sebaiknya kalian lekas mencari dan menyelidik siapa sebenarnya pembunuh kawan-kawanmu itu sebelum hari menjadi malam dan sebelum dia lari jauh…” Tubuh Si Cakar Iblis kelihatan semakin membungkuk ke muka. Dari mulutnya terdengar suara menggerendeng. Lalu katanya, “Gonggoseta, kuku-kuku jariku sudah tak sabar untuk cepat-cepat mengkermus manusia-manusia keparat ini! Kita semua sudah tahu bahwa mereka yang menamatkan riwayat Tiga Setan Darah. Tunggu apa lagi?!” Habis berkata begitu Si Cakar Iblis menggerendeng keras. Kedua tangannya yang berkuku panjang menyambar ke muka Wiro Sableng! Cepat-cepat Pendekar 212 melompat ke samping! Wiro maklum, walau bagaimanapun kini pertempuran tak dapat dihindarkan. Tujuh orang tokoh-tokoh silat lainnya dilihatnya telah bergerak pula, masing-masing keluarkan senjata! Karenanya Pendekar 212 ini tidak sungkan-sungkan lagi! Tangan kiri menghantam ke muka ke arah Cakar Iblis sedang tangan kanan menyelinap mencabut Kapak Naga Geni 212 Sekar dan Prana tidak pula tinggal diam melainkan cabut Rantai Petaka Bumi dan Pedang Ekasakti! Begitu serangannya luput, penuh penasaran Si Cakar Iblis balikkan badan dan kembali menyerang dengan jurus yang lebih hebat dari pertama tadi. Namun betapa kagetnya manusia ini sewaktu tubuhnya menjadi limbung disambar serangkum angin yang ke luar dari pukulan tangan kiri Wiro Sableng! Dua diantara tokoh-tokoh silat Istana itu yakni Si Telinga Arit Sakti dan Hantu Hitam Muka Putih berseru kaget sewaktu melihat senjata yang digenggam Wiro Sableng.
“Kapak Naga Geni 212!” seru mereka hampir bersamaan. Yang lain-lainnya tersentak kaget! Mereka belum pernah melihat senjata yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu, cuma mendengar-dengar saja! Sungguh tak dapat dipercaya kalau hari ini mereka menyaksikan senjata mustika sakti itu berada dalam tangan seorang pemuda berambut gondrong bertampang dogol anak-anak! Rasa heran tak percaya itu tidak berjalan lama dan berubah menjadi keterkejutan dan kemarahan yang amat sangat sewaktu Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat dan meminta korban pertama yaitu Si Picak Dari Utara! Si Picak Dari Utara menjerit keras dan tubuh dengan dada mandi darah dihantam kapak sakti itu laksana ratusan tawon mengaung, anginnya menderu-deru sedang dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar suara siulan yang diseling dengan suara tertawa aneh dan bentakan-bentakan! Bila siulan itu terdengar, bila suara tertawa aneh menyeling inilah satu pertempuran besar yang dahsyat! Tubuhnya sudah lenyap ditelan kecepatan geraknya dan ditelan bayang-bayang gerakan tujuh pengeroyoknya. Sekar dan Pranajaya putar senjata masing-masing dan menghadapi tiga orang pengeroyok sementara Wiro yang berpunggung-punggungan dengan mereka menghadapi empat pengeroyok lainnya! Lima puluh prajurit Kerajaan mengurung dalam bentuk lingkaran. Mereka memang sudah diberitahu untuk mengambil posisi demikian dan tidak turut menyerang!
“Rapatkan serangan!” teriak Gonggoseta karena sampai lima jurus di muka tak satupun yang sanggup mereka lakukan untuk membobolkan pertahanan ketiga orang pendekar itu! Dalam jurus ketujuh Harimau Siluman mengurung persis macam harimau dan dari mulutnya mengepul asap tujuh warna yang mengerikan!
“Tutup jalan nafas!” teriak Wira memberi ingat. Sekar dan Pranajaya segera melakukan hal itu. Tapi Sekar terlambat. Hidungnya keburu menghendus hawa beracun asap tujuh warna itu. Tak ampun pemandangannya menjadi gelap dan tubuhnya melosoh gontai. Di saat itu Si Janggut Biru secepat kilat tusukkan tongkat besinya ke perut gadis itu
“Trang! “
Bunga api memercik!
Tusukan tongkat besi Si Janggut Biru terpapas ke samping karena dilanda badan pedang Ekasakti di tangan Pranajaya! Jurusjurus berikutnya semakin seru! Limapuluh prajurit hampir tak sanggup melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka yang bertempur itu saking cepatnya! Harimau Siluman masih juga mengeluarkan asap beracunnya dari mulut. Penasaran sekali Wiro Sableng berteriak, “Harimau Siluman, silahkan makan asapmu sendiri!” Habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kirinya. Pukulan angin puyuh yang dikerahkan dengan setengah bagian tenaga dalam itu hebatnya bukan main. Asap tujuh warna yang dihembuskan Harimau Siluman menjadi buyar berantakan untuk kemudian menyerang pemiliknya sendiri! Harimau Siluman menggerung. Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan mulut serta matanya mengeluarkan darah akibat diterpa racun asap tujuh warna. Manusia ini keluarkan. sebutir pil penawar racun, tapi sebelum pil itu sempat ditelannya, racun asap tujuh warna sudah merambas ke jantung dan paru-parunya. Tak ampun lagi Harimau Siluman menggeletak mati di tanah! Di saat yang sama Wiro Sableng mendengar suara jeritan Pranajaya! Ketika dia menoleh dilihatnya pemuda itu terhuyunghuyung dengan tangan terluka parah dihantam senjata berbentuk arit di tangan Si Telinga Arit Sakti !
“Mampuslah!” teriak Telinga Arit Sakti. Aritnya menyambar ke leher Prana yang saat itu sudah tak bersenjata lagi karena tadi telah terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung arit! Prana jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi sewaktu arit itu berkiblat membalik kembali, murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi menghindar.
Si Telinga Arit Sakti tertawa mengekeh.
“Wuss! “
Telinga Arit Sakti berseru kaget dan lompat tujuh tombak ke atas. Satu sinar putih telah melabrak ke arah tubuhnya. Panasnya bukan main dan menyilaukan mata. Belum lagi dia turun ke tanah disebelah sana sebelas orang prajurit Kerajaan terdengar menjerit dan rubuh ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa!
“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Si Telinga Arit Sakti. Mukanya masih pucat. Yang lain-lainnya juga mendadak sontak menjadi ngeri!
“Pemuda keparat, apakah kau murldnya Si Sinto Gendeng?!” bentak Hantu Hitam Muka Putih !
“Tanya pada penjaga neraka!” jawab Pendekar 212. Sekali Kapak Naga Geni di tangannya berkelebat maka terdengarlah pekik Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir terbelah dua. Mukanya yang dicat putih kini menjadi merah ditelan noda darah! Tubuhnya angsrok saat itu juga ke tanah ! Gonggoseta menerjang kalap. Golok empat seginya yang amat besar itu membabat empat kali berturut-turut! Sambil mengelak gesit Wiro berteriak, “Prana, bawa Sekar dari sini! Tunggu aku di tepi telaga di luar Kotaraja. Cepat!”
“Tidak mungkin, Wiro…,” jawab Prana.
“Aku tak sanggup melakukannya. Racun arit perempuan keparat itu telah menyesakkan nafas dan melemahkan sekujur badanku! Sekar sendiri entah masih hidup entah tidak…..” Pendekar 212 kertakkan rahang. Dia melirik pada tubuh Sekar yang melingkar di tantah dan putar Kapak Naga Geninya untuk menerabas serangan tongkat Si Janggut Biru dan cakar maut Si Cakar Iblis! Meski cuma melirik sekilas namun mata Wiro Sableng yang tajam masih bisa memastikan bahwa Sekar saat itu masih bernafas, cuma keadaannya memang kritis akibat telah mencium asap beracun yang dihembuskan oleh Harimau Siluman. Dengan tangan kirinya Wiro cepat mengambil dua butir pil dari balik pakaian putihnya.
“Prana!.” serunya.
“Lekas telah pil ini dan berikan satu kepada Sekar.”
Melihat ini Gonggoseta segera berusaha untuk menghalang! Dua butir pil yang melesat ke arah Prana hendak ditendangnya dengan kaki kanan namun tangan kiri Wiro Sableng bergerak lebih cepat ke arah manusia pendek berkepala besar ini. Selarik sinar menyilaukan menyambar Gonggoseta!
“Pukulan sinar matahari!” seri Si Telinga Arit Sakti.
“Gonggoseta, lekas lompat menghindar!” memperingatkan perempuan sakti ini. Mendengar peringatan itu dan maklum akan kehebatan pukulan sinar matahari yang tadi sudah disaksikannya sendiri. Gonggoseta cepat menghindar ke samping, namun terlambat! Kaki kanannya kurang lekas ditarik pulang! Terdengar lolongan Gonggoseta, Kaki kanannya itu melepuh hangus dan mengeluarkan asap sewaktu dilanda pukulan sinar matahari. Tubuhnya terpelanting tiga tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya, dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak luka besar dan rangsangan racun yang menjalar dari kaki kanannya! Namun semua itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun agaknya yang sanggup mengobati kakinya yang hangus, tak ada satu obat penawarpun yang sanggup memusnahkan racun pukulan sinar matahari! Gonggoseta meraung-raung dan bergulingan di tanah, kemudian tubuhnya tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya lepas sudah! Kehebatan pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro tidak saja hanya meminta korban jiwanya Gonggoseta tapi juga seperti tadi, diseberang sana terdengar lagi pekik kematian enam orang prajurit yang tersambar pukulan sinar matahari! Keenamnya laksana daun-daun kering disambar angin keras, berpelantingan dan mati seketika itu juga! Meski dalam keadaan tangan terluka parah, bahkan kalau tidak hati-hati tangannya sendiri bisa tersambar pukulan sinar matahari namun dengan susah payah akhirnya Pranajaya berhasil juga menyambut dua butir pil yang dilemparkan Wiro. Obat itu segera ditelannya dan yang satu lagi dimasukkannya dengan cepat ke dalam mulut Sekar. Melihat kematian kawan mereka yang ke empat itu semakin meluaplah kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh silat lainnya yaitu Si Telinga Arit Sakti, Cindur Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru. Keempatnya mengurung Wiro dengan rapat. Tongkat besi Si Janggut Biru laksana taburan hujan menderu-deru menyambar ke seluruh tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar Iblis yang mengandung racun yang sangat dahsyat tiada hentinya mencari sasaran dibagianbagian tubuh Wiro yang berbahaya. Arit ditangan Si Telinga Arit Sakti berkelebat cepat memapas kian kemari sedang Cindur Rampe tiada hentinya lepaskan pukulan ireng weliung yang mendatangkan angin dahsyat berwarna hitam dan beracun! Dan bagaimana keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak menjadi dibikin tambah mengkal karena semua serangan maut mereka itu sampai sepuluh jurus di muka masih belum sanggup merubuhkan Pendekar 212. Jangankan merubuhkan, untuk melukai sedikit saja salah satu bagian tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itupun mereka tiada sanggup! Dan lebih membuat mereka penasaran betul ialah karena dari mulut Pendekar 212 tiada hentinya ke luar suara siulan yang sekali-sekali diselingi oleh suara tertawa bernada mengejek! Pil yang diberikan oleh Wiro Sableng kepada Prana memang mengandung khasiat yang luar biasa. Obat itu Eyang Sinto Gendeng sendiri yang meramunya. Pada waktu pertempuran dijurus ke sepuluh berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana mulai merasakan keadaan tubuhnya puluh kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan darah yang mengucur berhenti. Ketika dia berpaling pada Sekar, dilihatnya gadis itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepala.
“Prana, lekas tinggalkan tempat ini! Bawa Sekar!” berseru lagi Wiro. Pranajaya mengambil pedang Ekasakti yang tercampak di tanah lalu berdiri. Apa yang dilakukannya bukanlah mengikuti ucapan Wiro melainkan terus menyerbu ke dalam kalangan pertempuran !
“Pemuda tolol!” damprat Wiro.
“Disuruh selamatkan diri malah bertempur!” Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus babatkan pedangnya ke arah Cakar Iblis di sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi empat tokoh silat Istana itu tiada sanggup menghadapi Wiro maka ditambah dengan munculnya Pranajaya kini keempat tokoh silat itu menjadi terdesak total! Tubuh keempatnya terbungkus sinar pedang dan sinar kapak dan agaknya pertahanan mereka itu tak akan berjalan lebih lama. Dalam waktu singkat pasti sekurang-kurangnya salah seorang dari mereka akan menjadi korban lagi!
“Tahan! Hentikan pertempuran ini!” teriak Cindur Rampe seraya melompat ke luar dari kalangan. Sejak mulanya dia memang tak mau ikut-ikutan membela kematian Tiga Setan Darah karena antara dia dengan Tiga Setan Darah sendiri mempunyai perselisihan yang belum terselesaikan. Namun karena tak ingin dicap pengecut terpaksa juga Cindur Rampe pergi bersama yang lain-lainnya itu untuk membuat perhitungan dengan Wiro dan kawan-kawannya.
“Apa maumu Cindur Rampe?!” tanya Wiro dengan melintangkan kapak di muka dada sementara Sekar saat itu sudah berdiri di sampingnya dengan Rantai Petaka Bumi di tangan kanan.
“Antara kami dan kalian tak ada permusuhan. Karenanya tak perlu pertempuran gila ini diteruskan…!” Wiro tertawa tawar.
“Tadipun aku sudah bilang! Tapi kalian semua tidak mau dengar! Sayang empat orang kawan kalian sudah melayang jiwanya!” Cindur Rampe berpaling pada kawan-kawannya dan memberi isyarat untuk berlalu. Si Janggut Biru sudah hendak mengikuti Cindur Rampe tapi tak jadi kaena saat itu terdengar bentakan Si Telinga Arit Sakti.
“Cindur Rampe resi keparat! Apakah nyalimu sepengecut begini?! Apa kau relakan begitu saja empat kawan kita menemui kematian ?!” Paras Cindur Rampe menjadi merah.
“Perempuan edan!” balasnya membentak, “jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau dan yang lain-lainnya mau meneruskan pertempuran ini, silahkan! Kalian mencari mampus!” Cindur Rampe langkahkan kedua kakinya.
“Kalau begitu biar kau yang mampus lebih dulu pengecut!” teriak Telinga Arit Sakti dan perempuan ini segera melabrak Cindur Rampe. Kedua orang itupun terlibatlah dalam satu pertempuran seru. Wiro tertawa rnengekeh. Dia berpaling pada Prana dan Sekar,
“Kawan-kawan mari kita tinggalkan tempat ini,” katanya.
“Biar saja mereka baku hantam satu sama lain!”
“Kalian tak akan berlalu dari sini tikus-tikus keparat!” Wiro putar kepala. Yang membentak adalah Si Cakar Iblis. Tubuhnya merunduk, kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang diulurkan ke muka. Di sampingnya Si Janggut Biru berdiri dengan hati bimbang, apakah akan berlalu dari situ atau meneruskan lagi pertempuran. Cakar Iblis menggerung dahsyat! Sepuluh kuku jari tangannya rnengeluarkan sinar hitam dan sedetik kemudian sepuluh sinar hitam itu mencurah ke arah Wiro. Pendekar 212 sabetkan Kapak Naga Geni ke muka. Sepuluh larikan sinar hitam buyar tapi di lain kejapan sepuluh kuku-kuku jari Si Cakar Iblis tahu-tahu sudah berada di depan muka Pendekar 212! Wiro Sableng terkejut sekali dan menyurut kebelakang! Sepuluh kuku hitam itu memburu laksana kilat! Dan terdengar kekeh Si Cakar Iblis,
“Kau tak akan bisa selamatkan jiwamu dari jurus sepuluh ular berbisa berebut buah ini!” katanya.
Wiro memaki Dia melompat ke belakang tapi secepat lompatannya itu begitu pula cepatnya sepuluh kuku itu memburunya lagi !
“Mampuslah!” Teriak Si Cakar Iblis dan kedua tangannya laksana kilat menggapai ke muka Pendekar 212. Terdengar satu jeritan ! Pendekar 212 usap parasnya dan memperhatikan bagaimana Si Cakar Iblis berdiri terhuyung-huyung! Kedua lengannya terpapas buntung dilanda mata kapak di tangan Wiro dalam satu jurus serangan balasan yang amat luar biasa hebatnya !
“Manusia keparat… maki Si Cakar Iblis. Darah memancur dari kedua pergelangan tangannya.
“Sekalipun kau menang, jiwamu tidak akan aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan! Akan mencekik batang lehermu….”
“Sialan! Sudah mau mati masih omong besar!” damprat Wiro Sableng. Sekali kaki kanannya bergerak maka mentallah Si Cakar Iblis ! Wiro berpaling pada Si Janggut Biru.
“Bagaimana? Mau coba-coba rasanya mampus sobat?!” tanya Wiro pula. Si Janggut Biru meludah ke tanah. Tanpa berkata apa-apa segera ditinggalkannya tempat itu. Wiro memandang pada Si Telinga Arit Sakti yang tengah bertempur hebat dengan Cindur Rampe.
“Bertempurlah terus sampai salah seorang dari kalian mampus!” seru Wiro. Lalu dengan cepat bersama Sekar dan Prana dia berlalu dari situ. Tak satu prajurit kerajaanpun yang berani dan bernyali menghalangi mereka ! Sementara itu Si Telinga Arit Sakti berteriak keras, “Cindur Rampe! Hentikan pertempuran ini! Kita harus kejar ketiga bangsat itu!”
Cindur Rampe melompat mundur.
“Aku masih mau hidup Arit Sakti!” kata Cindur Rampe pula.
“Kalau kau mau mengejar mereka silahkan!” Cindur Rampe berkelebat meninggalkan tempat itu. Si Telinga Arit Sakti memaki habis-habisan. Bila dia tinggal seorang diri dan menyaksikan lima mayat kawan-kawannya yang menggeletak mati di halaman gedung itu, diam-diam diapun merasa kecut dan menyadari bahwa seorang diri tak akan ada gunanya dia mengejar ketiga manusia itu. Akhirnya perempuan sakti ini berkelebat dan lenyap kejurusan timur!
***
Next ...
Bab 13

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


 

Related Posts :

0 Response to "Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 12"

Posting Komentar