WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 007
Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin
SEPULUH
PENDEKAR 212 wiro sableng membawa Pranajaya ke luar Kotaraja sebelah tenggara. Dia berhenti di tepi sebuah telaga dan membaringkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan. Dia sudah sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda itu kemudian menyandarkannya ke sebatang pohon. Dengan sehelai sapu tangan yang sudah dibasahkan dengan air telaga dibersihkannya seluruh luka-luka di tubuh Pranajaya. Setengah jam kemudian disuruhnya pemuda itu mengatur jalan nafas serta darah. Ketika disuruhnya mengatur tenaga dalam Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng berlutut di belakang pemuda itu. Kedua telapak tangannya ditempelkannya di punggung pemuda itu. Lalu perlahan-lahan Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya. Lima menit kemudian.
“Coba kerahkan lagi,” kata Wiro. Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya kepertengahan perut! Dia berhasil berseru gembira!
“Wiro Tenaga dalamku telah pulih!” Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjundgir balik beberapa kali lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu mencapai tanah!
“Gerakan dan ilmu mengentengi tubuhmu hebat sekali Prana,” puji Wiro. Pranajaya tersenyum jumawa.
“Ini semua adalah berkat pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus! Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padamu!” Wiro Sableng bersiul.
“Hutang budi dan hutang nyawa itu sebetulnya tak pernah ada di dunia ini, saudara Prana,” sahut Wiro Sableng. ”Kau tahu, budi baik itu Tuhan yang memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah kita semua berhutang!” Pranajaya tertawa.
“Walau bagaimanapun aku tetap merasa berhutang besar sekali padamu. Kuharap Tuhan memanjangkan umurku dan bisa membalas semua pertolonganmu…“ Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Ditepuknya bahu Prana dan berkata, “Di samping nasib baik dan pertolongan Tuhan, tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti, Prana.”
“Ah, aku cuma manusia biasa saja. Pemuda gunung yang tak tahu apa-apa…!” jawab Pranajaya rendahkan diri. Wiro tertawa.
“Seorang pemuda gunung yang dogol pasti sudah mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan masih hidup!” Prana angkat bahu.
“Sekarang terangkan kenapa sampai kau mengalami nasib demikian,” kata Wiro Sableng pula.
“Aku dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga Setan Darah. Mereka telah membunuh bapakku dan salah seorang dari mereka membacok buntung lengan kiriku ini! Di samping itu. Empu Blorok juga menugaskanku mencari senjata mustika miliknya yang dicuri oleh seorang sahabatnya bernama Bagaspati.”
“Senjata apa yang dicuri itu?” kepingin tahu Wiro.
“Sebuah cambuk bernama Cambuk Api Angin.”
“Namanya hebat, pasti itu senjata dahsyat sekali,” ujar Wiro.
“Kau sudah tahu di mana itu si Bagaspati bercokol?” tanya Wiro kemudian. Pranajaya mengangguk.
“Di Pulau Seribu Maut,” jawab pemuda tangan buntung itu.
“Pulau Seribu Maut? Di mana itu? Aku tak pernah dengar!”
“Menurut guruku terletak di ujung timur Pulau Jawa…“
“Cukup jauh dari sini,” kata Wiro.
Prana mengangguk lagi.
“Aku bernasib sial,” katanya.
“Tiga Setan Darah ternyata sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku sudah kena disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai serahkan jiwapun aku tetap musti bisa membereskan ketiga bangsa itu!” Prana berdiri dari duduknya.
“Kau mau ke mana?!” tanya Wiro.
“Kembali ke Kotaraja untuk-mencari Tiga Setan Darah!” Wiro berdiri pula.
“Dengan pakaian macam ini kau mau masuk ke Kotaraja?” Prana memandang ke dirinya. Seluruh pakaian birunya sudah hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini menggigit bibir. Wiro tertawa.
“Aku ada satu stel persediaan pakaian,” katanya. Dari balik punggungnya Pendekar 212 mengeluarkan sebuntal pakaian.
“Ini, pakailah,” Wiro melemparkan pakaian itu. Prana menyambutnya. “Terima kasih,” kata pemuda ini lalu cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar.
“Aku juga akan ke Kotaraja,” kata Wiro “Seorang sahabatku lenyap tak tentu entah ke mana. Aku musti cari dia!”
“Kalau begitu kita pergi sama-sama,” ujar Pranajaya.
“Tiga Setan Darah musti mampus ditanganku!,” murid Empu Blorok ini kepalkan tinju tangan kanannya.
“Salah seorang dari mereka telah merampas pedang warisan guruku! Mereka musti benar-benar mampus!” Wiro menepuk bahu Pranajaya.
“Sudah sobat, mari kita berangkat!” Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan ilmu lari cepat masing-masing keduanya menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu matahari telah menggelincir ke ufuk barat. Diam-diam Pranajaya memperhatikan gerak dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata tajam dan berpikiran cerdas. Dia segera mengetahui kalau saat itu Wiro hanya mengeluarkan setengah bagian saja dari kecepatan ilmu larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan keseluruhan kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau pastilah dia akan ketinggalan jatuh di belakang. Diam-diam Pranajaya membathin siapa dan murid guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro? Empu Blorok pernah menerangkan tentang tokoh-tokoh silat ternama di rimba persilatan. Tapi tak pernah menyebut-nyebut seorang pendekar muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari itu akhirnya mereka telah sampai di pintu gerbang Kotaraja. Wiro Sableng memperlambat larinya.
“Kulihat ada kelainan di pintu gerbang saat ini,” kata Wiro. Pranajaya memperhatikan ke arah pintu gerbang. Apa yang diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang Kotaraja kelihatan sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua orang yang berdiri di situ.
“Aku mendapat firasat mereka hendak membuat urusan dengan kita..,” kata Pranajaya.
“Kita lihat saja. Jika betul tak usah ragu-ragu untuk memberi sedikit hajaran pada mareka, Prana!” Begitu sampai di pintu gerbang Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu gerbang berjejer rapi, masing– masing memalangkan tombak. Salah seorang dari mereka maju membentak.
“Berhenti!” Wiro Sableng dan Pranajaya hentikan lari masing-masing. Mereka memperhatikan, rata-rata tampang pengawal-pengawal itu bengis semua. Yang tadi membentak berpaling pada salah seorang kawannya dan bertanya,
“Apakah ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau lihat melarikan diri dari Kotaraja?!” Pengawal yang ditanya mengangguk. Meski sudah berganti pakaian namun pengawal itu masih dapat mengenali Pranajaya dan juga Wiro Sableng.
Pengawal yang tadi bertanya palingkan kepala kembali pada Wiro dan Prana. Dia segera hendak buka mulut berikan perintah namun Wiro Sableng dengan cengar cengir mendahului.
“Pengawal, omongmu seenaknya saja! Kau kira kami ini apa pakai memaki kunyuk segala?! Coba kacakan mukamu di telapak kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yartg kunyuk atau kau yang monyet!” Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-tinggi kaki kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang tadi memaki. Tentu saja marah pengawal ini bukan alang kepalang!
“Bangsat rendah! Kau lebih pantas mampus dari pada ditangkap hidup-hidup!” Pengawal ini secepat kilat tusukkan tombaknya kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda tertawa.
“Sompret betul!,” makinya kemudian.
“Orang suruh berkaca malah menyerang! Ini makan kakiku!” Hampir tak kelihatan bagaimana cepatnya gerakan kaki murid Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya sudah mendarat didagu si pengawal!.Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya mental, mulutnya berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu gerbang tanpa kabarkan diri! Melihat ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar mengurung!
“Bedebah laknat!,” kata salah seorang dari mereka, “lebih baik kalian serahkan diri. Kalau tidak nyawa kalian pasti tidak ketolongan!”
“Siapa yang minta tolong soal nyawa padamu tikus pintu gerbang!” damprat Wiro.
“Ulurkan kedua tangan kalian!” perintah pengawal yang seorang itu sambil mengeluarkan segulung tali besar.
“Kalian harus kami seret kehadapari Tiga Setan Darah!”
“Oh, jadi manusia-manusia muka kepiting rebus itu yang menyuruh kalian menghadang kami di sini?!” bentak Pranajaya.
“Tak usah banyak bacot! Ulurkan kedua tangan kalian!” Wiro Sableng, palingkan kepala pada Prana dan kedapkan matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, “Kalau betul Tiga Setan Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak bisa berbuat apa-apa selain serahkan diri…” Dan Pendekar 212 ulurkan kedua tangannya pada pengawal itu seraya berkata,
“Tapi saudara, kawanku cuma punya satu tangan, apakah kau akan ikat juga dia….?!”
“Aku bilang tak usah banyak mulut!” sentak si pengawal. Tali yang ditangannya dengan cepat digulung dan mengikat kedua pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat. Mendadak sepasang lengan yang sudah terikat itu bergerak. Terdengar satu pekikan. Tubuh si pengawal mental ke udara, terbanting ke atas atap pintu gerbang Kotaraja, mengeluh sebentar lalu merosot jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara bergedebuk! Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro Sableng. Delapan tombak berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan sinar matahari sore! Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya bergerak cepat tiada henti. Disekitarnya terdengar suara, “plak… plak… plak” dan hanya dalam tempo lebih dari sekejapan mata saja kedelapan pengawal itu sudah bertumpukan di tanah, pingsan dihantam tamparan Wiro Sableng! Pranajaya, si murid Empu Blorok hampir, tak percaya melihat apa yang disaksikannya itu. Delapan orang sekaligus dibikin roboh pingsan dalam tempo demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum sekali! Dia berdiri terlongong-longong!
“Sobat!,” Wiro menepuk bahunya.
“Jangan jadi patung. Mari! Kau tokh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah?!” Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara segera dia berlari menyusul Wiro Sableng. Tiba-tiba Wiro hentikan larinya.
“Kita bodoh,” katanya, “di Kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu akan menujukan perhatiannya pada kita.” Keduanya meneruskan perjalanan dengan melangkah cepat. Mereka sampai dihadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah. Dan di saat itu pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada Pranajaya.
“Sobat, aku baru ingat. Kawanku itu pasti tidak berada di sini! Waktu aku mendukungmu ke luar dari ruang batu, dia telah lenyap. Musti si Setan Pukulan yang telah melarikannya! Keparat betul!”
“Kau tahu ke mana kira-kira kawanmu itu dilarikan?” tanya Prana. Wiro gelengkan kepala dan menggerendeng,
“Aku akan cari keterangan,” katanya.
“Sementara itu coba kau selidiki dulu gedung tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku pasti kembali ke sini!” Prana menyetujui usul Wiro.
“Hati-hati,” memperingatkan Wiro.
“Gedung tua ini banyak jebakan dan senjata rahasianya!” Pranajaya mengangguk lalu cepat-cepat memasuki halaman gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping yang sebelumnya telah didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung sejenak. Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan alat-alat rahasianya, maka menurut dia jalan yang seaman-amannya untuk masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng! Maka tanpa pikir lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi tubuhnya yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung tua! Kedua kakinya menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
“Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutUk tukang rusak kehormatan perempuan!”
Habis berteriak begitu Pranajaya menyerbu turun ke dalam. Genteng pecah bertaburan, beberapa papan panglari patah!
***
PENDEKAR 212 wiro sableng membawa Pranajaya ke luar Kotaraja sebelah tenggara. Dia berhenti di tepi sebuah telaga dan membaringkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan. Dia sudah sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda itu kemudian menyandarkannya ke sebatang pohon. Dengan sehelai sapu tangan yang sudah dibasahkan dengan air telaga dibersihkannya seluruh luka-luka di tubuh Pranajaya. Setengah jam kemudian disuruhnya pemuda itu mengatur jalan nafas serta darah. Ketika disuruhnya mengatur tenaga dalam Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng berlutut di belakang pemuda itu. Kedua telapak tangannya ditempelkannya di punggung pemuda itu. Lalu perlahan-lahan Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya. Lima menit kemudian.
“Coba kerahkan lagi,” kata Wiro. Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya kepertengahan perut! Dia berhasil berseru gembira!
“Wiro Tenaga dalamku telah pulih!” Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjundgir balik beberapa kali lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu mencapai tanah!
“Gerakan dan ilmu mengentengi tubuhmu hebat sekali Prana,” puji Wiro. Pranajaya tersenyum jumawa.
“Ini semua adalah berkat pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus! Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padamu!” Wiro Sableng bersiul.
“Hutang budi dan hutang nyawa itu sebetulnya tak pernah ada di dunia ini, saudara Prana,” sahut Wiro Sableng. ”Kau tahu, budi baik itu Tuhan yang memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah kita semua berhutang!” Pranajaya tertawa.
“Walau bagaimanapun aku tetap merasa berhutang besar sekali padamu. Kuharap Tuhan memanjangkan umurku dan bisa membalas semua pertolonganmu…“ Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Ditepuknya bahu Prana dan berkata, “Di samping nasib baik dan pertolongan Tuhan, tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti, Prana.”
“Ah, aku cuma manusia biasa saja. Pemuda gunung yang tak tahu apa-apa…!” jawab Pranajaya rendahkan diri. Wiro tertawa.
“Seorang pemuda gunung yang dogol pasti sudah mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan masih hidup!” Prana angkat bahu.
“Sekarang terangkan kenapa sampai kau mengalami nasib demikian,” kata Wiro Sableng pula.
“Aku dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga Setan Darah. Mereka telah membunuh bapakku dan salah seorang dari mereka membacok buntung lengan kiriku ini! Di samping itu. Empu Blorok juga menugaskanku mencari senjata mustika miliknya yang dicuri oleh seorang sahabatnya bernama Bagaspati.”
“Senjata apa yang dicuri itu?” kepingin tahu Wiro.
“Sebuah cambuk bernama Cambuk Api Angin.”
“Namanya hebat, pasti itu senjata dahsyat sekali,” ujar Wiro.
“Kau sudah tahu di mana itu si Bagaspati bercokol?” tanya Wiro kemudian. Pranajaya mengangguk.
“Di Pulau Seribu Maut,” jawab pemuda tangan buntung itu.
“Pulau Seribu Maut? Di mana itu? Aku tak pernah dengar!”
“Menurut guruku terletak di ujung timur Pulau Jawa…“
“Cukup jauh dari sini,” kata Wiro.
Prana mengangguk lagi.
“Aku bernasib sial,” katanya.
“Tiga Setan Darah ternyata sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku sudah kena disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai serahkan jiwapun aku tetap musti bisa membereskan ketiga bangsa itu!” Prana berdiri dari duduknya.
“Kau mau ke mana?!” tanya Wiro.
“Kembali ke Kotaraja untuk-mencari Tiga Setan Darah!” Wiro berdiri pula.
“Dengan pakaian macam ini kau mau masuk ke Kotaraja?” Prana memandang ke dirinya. Seluruh pakaian birunya sudah hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini menggigit bibir. Wiro tertawa.
“Aku ada satu stel persediaan pakaian,” katanya. Dari balik punggungnya Pendekar 212 mengeluarkan sebuntal pakaian.
“Ini, pakailah,” Wiro melemparkan pakaian itu. Prana menyambutnya. “Terima kasih,” kata pemuda ini lalu cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar.
“Aku juga akan ke Kotaraja,” kata Wiro “Seorang sahabatku lenyap tak tentu entah ke mana. Aku musti cari dia!”
“Kalau begitu kita pergi sama-sama,” ujar Pranajaya.
“Tiga Setan Darah musti mampus ditanganku!,” murid Empu Blorok ini kepalkan tinju tangan kanannya.
“Salah seorang dari mereka telah merampas pedang warisan guruku! Mereka musti benar-benar mampus!” Wiro menepuk bahu Pranajaya.
“Sudah sobat, mari kita berangkat!” Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan ilmu lari cepat masing-masing keduanya menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu matahari telah menggelincir ke ufuk barat. Diam-diam Pranajaya memperhatikan gerak dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata tajam dan berpikiran cerdas. Dia segera mengetahui kalau saat itu Wiro hanya mengeluarkan setengah bagian saja dari kecepatan ilmu larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan keseluruhan kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau pastilah dia akan ketinggalan jatuh di belakang. Diam-diam Pranajaya membathin siapa dan murid guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro? Empu Blorok pernah menerangkan tentang tokoh-tokoh silat ternama di rimba persilatan. Tapi tak pernah menyebut-nyebut seorang pendekar muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari itu akhirnya mereka telah sampai di pintu gerbang Kotaraja. Wiro Sableng memperlambat larinya.
“Kulihat ada kelainan di pintu gerbang saat ini,” kata Wiro. Pranajaya memperhatikan ke arah pintu gerbang. Apa yang diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang Kotaraja kelihatan sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua orang yang berdiri di situ.
“Aku mendapat firasat mereka hendak membuat urusan dengan kita..,” kata Pranajaya.
“Kita lihat saja. Jika betul tak usah ragu-ragu untuk memberi sedikit hajaran pada mareka, Prana!” Begitu sampai di pintu gerbang Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu gerbang berjejer rapi, masing– masing memalangkan tombak. Salah seorang dari mereka maju membentak.
“Berhenti!” Wiro Sableng dan Pranajaya hentikan lari masing-masing. Mereka memperhatikan, rata-rata tampang pengawal-pengawal itu bengis semua. Yang tadi membentak berpaling pada salah seorang kawannya dan bertanya,
“Apakah ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau lihat melarikan diri dari Kotaraja?!” Pengawal yang ditanya mengangguk. Meski sudah berganti pakaian namun pengawal itu masih dapat mengenali Pranajaya dan juga Wiro Sableng.
Pengawal yang tadi bertanya palingkan kepala kembali pada Wiro dan Prana. Dia segera hendak buka mulut berikan perintah namun Wiro Sableng dengan cengar cengir mendahului.
“Pengawal, omongmu seenaknya saja! Kau kira kami ini apa pakai memaki kunyuk segala?! Coba kacakan mukamu di telapak kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yartg kunyuk atau kau yang monyet!” Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-tinggi kaki kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang tadi memaki. Tentu saja marah pengawal ini bukan alang kepalang!
“Bangsat rendah! Kau lebih pantas mampus dari pada ditangkap hidup-hidup!” Pengawal ini secepat kilat tusukkan tombaknya kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda tertawa.
“Sompret betul!,” makinya kemudian.
“Orang suruh berkaca malah menyerang! Ini makan kakiku!” Hampir tak kelihatan bagaimana cepatnya gerakan kaki murid Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya sudah mendarat didagu si pengawal!.Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya mental, mulutnya berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu gerbang tanpa kabarkan diri! Melihat ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar mengurung!
“Bedebah laknat!,” kata salah seorang dari mereka, “lebih baik kalian serahkan diri. Kalau tidak nyawa kalian pasti tidak ketolongan!”
“Siapa yang minta tolong soal nyawa padamu tikus pintu gerbang!” damprat Wiro.
“Ulurkan kedua tangan kalian!” perintah pengawal yang seorang itu sambil mengeluarkan segulung tali besar.
“Kalian harus kami seret kehadapari Tiga Setan Darah!”
“Oh, jadi manusia-manusia muka kepiting rebus itu yang menyuruh kalian menghadang kami di sini?!” bentak Pranajaya.
“Tak usah banyak bacot! Ulurkan kedua tangan kalian!” Wiro Sableng, palingkan kepala pada Prana dan kedapkan matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, “Kalau betul Tiga Setan Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak bisa berbuat apa-apa selain serahkan diri…” Dan Pendekar 212 ulurkan kedua tangannya pada pengawal itu seraya berkata,
“Tapi saudara, kawanku cuma punya satu tangan, apakah kau akan ikat juga dia….?!”
“Aku bilang tak usah banyak mulut!” sentak si pengawal. Tali yang ditangannya dengan cepat digulung dan mengikat kedua pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat. Mendadak sepasang lengan yang sudah terikat itu bergerak. Terdengar satu pekikan. Tubuh si pengawal mental ke udara, terbanting ke atas atap pintu gerbang Kotaraja, mengeluh sebentar lalu merosot jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara bergedebuk! Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro Sableng. Delapan tombak berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan sinar matahari sore! Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya bergerak cepat tiada henti. Disekitarnya terdengar suara, “plak… plak… plak” dan hanya dalam tempo lebih dari sekejapan mata saja kedelapan pengawal itu sudah bertumpukan di tanah, pingsan dihantam tamparan Wiro Sableng! Pranajaya, si murid Empu Blorok hampir, tak percaya melihat apa yang disaksikannya itu. Delapan orang sekaligus dibikin roboh pingsan dalam tempo demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum sekali! Dia berdiri terlongong-longong!
“Sobat!,” Wiro menepuk bahunya.
“Jangan jadi patung. Mari! Kau tokh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah?!” Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara segera dia berlari menyusul Wiro Sableng. Tiba-tiba Wiro hentikan larinya.
“Kita bodoh,” katanya, “di Kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu akan menujukan perhatiannya pada kita.” Keduanya meneruskan perjalanan dengan melangkah cepat. Mereka sampai dihadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah. Dan di saat itu pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada Pranajaya.
“Sobat, aku baru ingat. Kawanku itu pasti tidak berada di sini! Waktu aku mendukungmu ke luar dari ruang batu, dia telah lenyap. Musti si Setan Pukulan yang telah melarikannya! Keparat betul!”
“Kau tahu ke mana kira-kira kawanmu itu dilarikan?” tanya Prana. Wiro gelengkan kepala dan menggerendeng,
“Aku akan cari keterangan,” katanya.
“Sementara itu coba kau selidiki dulu gedung tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku pasti kembali ke sini!” Prana menyetujui usul Wiro.
“Hati-hati,” memperingatkan Wiro.
“Gedung tua ini banyak jebakan dan senjata rahasianya!” Pranajaya mengangguk lalu cepat-cepat memasuki halaman gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping yang sebelumnya telah didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung sejenak. Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan alat-alat rahasianya, maka menurut dia jalan yang seaman-amannya untuk masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng! Maka tanpa pikir lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi tubuhnya yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung tua! Kedua kakinya menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
“Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutUk tukang rusak kehormatan perempuan!”
Habis berteriak begitu Pranajaya menyerbu turun ke dalam. Genteng pecah bertaburan, beberapa papan panglari patah!
***
Next ...
Bab 11
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
Bab 11
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 10"
Posting Komentar