Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 11

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang

SEBELAS
Wiro Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhu¬yung-huyung dengan sebatang pedang pendek menan¬cap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat mem¬bopong tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah. Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan me¬nodai pakaian Wiro sendiri!
Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini, bapak??" tanya Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya sendiri. Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan demikian rupa.
"Wiro, tolonglah selamatkan anakku…. Mayang dilarikan oleh…. Gempar Bu… mi…."
"Bedebah itu lagi!" desis Wiro dengan geraham-geraham bergemeletukan!
"Kej… kejar dia, Wiro…."
"Tapi kau sendiri, pak…."
Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara.
"Diriku tak… usah kau pikirkan nak. Tak ada harap¬an…. Yang perlu Mayang. Nasib dan… dan dirinya ku¬serahkan padamu. Kuharap kalian…."’
Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Ke¬palanya terkulai. Kedua matanya terbalik dan nafasnya lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro mem¬baringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipan¬danginya tubuh tanpa nafas itu beberapa ketika. "Nasib dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian…." Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapan¬nya, tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak disampaikan laki-laki itu. Tanpa menunggu lebih lama pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan ce¬pat, lenyap di jurusan perginya manusia yang telah melarikan Mayang!
Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran. Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak di¬ketahui ke mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di sekitarnya hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar pula suara burung hantu mengerikan semen¬tara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke tulang-tulang sumsum.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas kesal. Ke-mana dia harus meneruskan pengejaran? Jika menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan tak ada artinya menyelamatkan dara itu! Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas me-lakukan pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk mem¬buat perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagai¬mana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?! Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas! Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Pan apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis kalau bukan kehormatannya?!
Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya yang hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar’ Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah dilakukan oleh Gempar Bumi?!
"Kalau betul-betul Hu dilakukannya, akari kupatahkan batang lehernya! Akan ku patah k ani" kata Wiro dengan hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan "Brak!" sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah tumbang ke bumi!
Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpang¬gul seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak berdaya. Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!
Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah yang dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak su¬ngai ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya lagi di atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang yang terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi mem¬bawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok, kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di am-bang pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka dada. Ketika melihat orang yang datang dengan mem¬bawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan kening.
"Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!" orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di hadapannya.
Gempar Bumi menyeringai.
"Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!"
Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki ber¬nama Sati menelan ludahnya.
”Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya Sati dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti.
"Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu! Lekas pergi!"
Mata Satj tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga Gempar B,umi,
Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati.
"Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan batang lehermu!"
Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya ditinggalkannya tempat itu.
Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan. Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini. Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah Mayang.
"Manusia keparat! Lepaskan totokan ku…!"
"Ah, kau masih saja bersikap galak," kata Gempar Bumi.
"Bedebah! Lepaskan totokan ku!"
"Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok jalan suaramu kembali!" mengancam Gempar Bumi dan diulurkannya tangan kanannya.
"Jangan sentuh!" teriak Mayang.
Gempar Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi gadis itu. Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak. "Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku akan kawini kati secara baik-baik, tapi…’ "Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu!" potong Mayang. "Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan menyesal akan kuperlakukan Secara kasar!" "Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang siang! Saat ini juga…."
"Eh, apakah kau tidak takut mati?!"
"Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!"
Gempar Bumi tertawa mengekeh.
"Mati muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan Tuhan! Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku…. Kau akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa nikmatnya… betapa…."
"Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai kelautan api pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!"
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak.
"Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk mem¬bunuh tapi untuk mengajak kembali menikmati segala keindahan hidup itu! Ha… ha… ha… ha!"
"Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu sampai lumat!"
"Ilmu silatmu ilmu silat kampungan!" ejek Gempar Bumi: "Menghadapiku beberapa jurus saja sudah tak sang¬gup, bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?!"
"Kalau tidak aku ada orang lain yang akan me¬lenyapkanmu dari muka bumi ini!"
"Aha… siapa kira-kira orangnya?!" tanya Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal melintang.
"Guruku!"
"Gurumu?!" Gempar Bumi tertawa membabak. "Pe¬rempuan tua renta yang bernama Inyak Nini itu? Kepandaiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau! Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat dia kalau berani berhadapan denganku!"
Mayang mendengus.
"Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-orang. sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup mem¬bunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu!"
"Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.
"Di antaranya pemuda berambut gondrong yang mempecundangimu tempo hari!" sahut Mayang.
Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang tak pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru angin Pulau Andalas belum pernah dia menghadapi lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu.
"Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan niscaya tidak kuampunkan jiwanya…."
"Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran padamu untuk ambil langkah seribu!"
Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba ta¬ngannya diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat me¬nyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang! Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan se¬ringai nafsu yang mengembang kempiskan cuping hi¬dungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas dada sang dara!
Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di kampung yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil me-laksanakan niatnya melarikan si gadis?
Seperti telah diceritakan sebelumnya. Pagar Alam hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang di¬namakannya Perguruan Kejora, Tapi karena adanya maksud Gempar Bumi untuk datang pada hari peresmian itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam mengundurkan peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan yang sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawan-nya. Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat kediaman Inyak Ninik, guru Mayang.
Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap di se¬buah kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi mendatangi kampung itu, merampok dan membakar serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kam pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap Mayang mendadak didengarnya suara suitan nyaring di sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya! Bersama keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke Barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi anak-anak buahnya di bagian Barat sana! Dan sewaktu dia sampai di bagian Barat kampung, berubahlah parasnya. Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya tak dapat melihat perobahan parasnya itu!
Seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari! Meski dia membawa anak-anak buah yang berkepandaian tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau dia melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang.
Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang Wiro Sableng.
"Bunuh bangsat itu!" demikian dia memerintah! Dan dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya pertem¬puran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal keempat anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi tam¬bah mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh menjadi korban Wiro Sableng tidak tunggu lebih lama saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu.
Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemun-culan Gempar Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi dan menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat!
Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena didesak oleh Gempar Bumi. Melihat ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan! Tetapi saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gem-par Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua ber¬anak!
Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi ber¬hasil menyelundupkan pedangnya dan menancap de¬ngan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Ma¬yang berhasil ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang. Gempar Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam dalam keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang ke¬mudian segera melakukan pengejaran….
Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak dan menangis.
Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pon¬doknya berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingat¬annya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakan-nya parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning langsat dan potongan tubuhnya yang montok padati Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang tertegun-tegun. Hatinya mendorong-dorong agar kem¬bali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun jadilah. Dan semakin besar rasa yang mendorong-dorong di hati Saat itu, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah di¬tempuhnya. Kembali ke pondok di tepi sungai itu!
Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari se¬buah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali.
Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan peman¬dangan yang terpampang di depan matanya, di bawah penerangan pelita.
Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak. Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa selembar pakaianpunl Berkali-kali Sati meneguk ludahnya. Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok di hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, meng¬gulung tubuh gadis itu.
"Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis Sati. "Keparat betul si Gempar Bumi ini!"
Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala gerak yang dibuatnya laki membalik dengan cepat Sepasang matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan.
"Braakl"
Dinding itu berlobang besar.
Di luar pondok seseorang terdengar berteriak: "Ke¬terlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang!"
"Sati keparat! Kau berani kembali dan mengintip? Kau akan terima hukuman berat dariku!" teriak Gempar Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pa¬kaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum pintu itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi meman¬dang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!
***

Next ...
Bab 12

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 11"

Posting Komentar