Jabang Bayi Dalam Guci Bab 16

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 185
Jabang Bayi Dalam Guci


ENAM BELAS
SETELAH tegak terdiam beberapa lama di hutan jati yang kini menjadi sunyi senyap, Resi Kali Jagat memeriksa jabang bayi yang ada dalam guci putih tembus padang. Dia merasa lega ketika melihat jabang bayi itu tidak kurang suatu apa. Orang tua ini kembali mendatangi pohon jati yang dua cabangnya saling bersilangan.
Ketika Kelelawar Raksasa mengepakkan sayap untuk menghabisi anjing merah sembilan pohon jatuh tumbang. Adalah aneh walau pohon Jati satu ini berada di tengah hantaman sayap namun tidak ikut roboh, hanya dedaunannya saja yang yang rontok, itupun tak banyak.
Seperti yang dilakukannya sebelumnya Resi Kali Jagat ulurkan tangan kanan, mengetuk batang pohon tiga kali.
"Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku Resi Kali Jagat Ampusena kembali memohon untuk dibuka pintu masuk ke dalam Rumah Ketenteraman dan Keselamatan."
Sunyi sesaat Lalu terdengar suara sahutan dari dalam tanah.
"Resi Kaii Jagat, aku mendengar permintaanmu. Lapangkan hati dalam menghadapi segala cobaan. Pintu terbuka lebar bagimu. Silahkan masuk." Begitu suara di dalam tanah selesai berucap tibatiba terdengar suara angin berdesir. Batang pohon Jati di hadapan si orang tua bergetar. Cabang dan ranting serta daun-daun bergerak lurus ke atas mengarah ke langit. Di lain kejap terjadilah hai yang sungguh luar biasa.
Pohon Jati besar berusia lebih dari setengah abad itu melesat ke udara sampai setinggi tiga tombak.
Akar menjuntai bergerak-gerak mengeluarkan suara berdesir aneh.Dari lobang besar yang kini menganga di tanah muncul keluar satu bangunan terbuat dari batu hitam berbentuk candi kecil. Resi Kali Jagat terpana.
Mata menatap tak berkesip. Dia sudah sering mendengar adanya keanehan ini namun baru kali ini melihat sendiri.
Saat itu terdengar lagi suara berdesir dari arah bangunan batu. Lalu pintu bangunan kelihatan bergeser, membuka ke samping membentuk jalan masuk.
"Resi Kali Jagat Ampusena, pintu telah terbuka.
Berarti kedatanganmu diterima. Silahkan masuk." Ada suara mempersilahkan.
Resi Kali Jagat kepit erat-erat guci putih di tangan kiri lalu dengan cepat masuk ke daiam bangunan melalui pintu yang terbuka. Begitu si orang tua berada di dalam bangunan, pintu batu menutup dengan sendirinya lalu terasa bangunan itu bergerak turun masuk jauh ke dalam tanah. DI luar sana pohon Jati besar bergerak pula ke bawah dan kembali tertanam di tanah seperti sebelumnya. Cabang, ranting dan dedaunan yang mengarah ke langit perlahan-lahan bergerak ke bawah.
Bangunan batu yang diluar tampak kecil saja ternyata sebelah dalamnya cukup luas. Di satu mang terbuka berderet beberapa patung batu, tiga patung lelaki, dua berujud patung perempuan.
"Pemilik Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, aku sudah berada di dalam bangunan. Aku menghatur terima kasih kau telah memberi perkenan bagiku untuk masuk. Salam hormat dan sejahtera untukmu."
Baru saja Resi Kali Jagat berucap tiba-tiba dari lantai mencuat tiga buah benda. Ternyata benda itu adalah dua buah kursi dan sebuah meja terbuat dari batu hitam berkilat.
"Ampusena silahkan duduk. Apakah kau berkenan terlebih dulu membasahi rangkungan dengan secangkir anggur murni atau secawan tuak harum?"’ Suara yang menyapa adalah suara perempuan yang sama sewaktu sang Resi masih berada di hutan Jati.
"Terima kasih, kalau boleh aku hanya minta secangkir air putih bening."
Mendengar jawaban itu, perempuan yang masih belum kelihatan ujudnya keluarkan suara tertawa.
"Ampusena, agaknya kau tidak pernah berubah dari dulu."
Resi Kali Jagat tidak menjawab, hanya rundukkan kepala dan dada sebagai penghormatan atas ucapan orang. Ketika dia meluruskan kepala dan tubuh kembali di atas meja batu tabu-tabu telah terletak sebuah cangkir tanah berisi air bening. Namun di dalam kebeningan itu Resi Kali Jagat melihat sesekali ada kilauan warna merah. Racun! "Resi Kali Jagat, silahkan membasahi rangkungan.
Silahkan diminum air putih bening sejuk di atas meja." Suara perempuan tanpa ujud kembali terdengar.
Resi Kali Jagat yang telah melihat adanya kelainan dalam cairan putih bening menjawab dengan suara lembut penuh hormat "Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan mohon maaf. Aku lupa kalau hari ini aku tengah berpuasa."
"Begitu? Makin tua umur dunia membuatmu kini jadi seorang pelupa. Itu lebih baik dibandingkan jadi orang pikun"
Didahului suara tertawa tiba-tiba salah satu dari dua patung perempuan di dalam ruangan pancarkan cahaya kuning. Cahaya ini melesat ke arah kursi batu.
Sesaat kemudian di atas kursi batu di belakang meja di hadapan Resi Kali Jagat terlihat sosok seorang nenek.
Nenek ini memiliki wajah runcing mengenakan jubah kuning, berambut kuning dan di atas kepalanya menancap tiga tusuk konde terbuat dari batu berwarna merah pekat. Wajahnya tampak aneh kalau tidak mau dikatakan angker. Nenek ini hanya punya satu alis, memanjang dari pelipis kiri sampai pelipis kanan. Di bawah alis panjang itu terdapat dua buah mata. Mata yang sebelah kiri lebih besar dari mata sebelah kanan. Hidung bengkok menyerupai paruh burung dicantel! anting-anting bulat terbuat dari emas.
Mulut berbentuk segi tiga. Si nenek tidak duduk di atas kursi tapi berdiri. Dan tubuhnya ternyata pendek sekali alias katai.
Resi Kali Jagat cepat berdiri lalu membungkuk.
"Penghuni Rumah "Ketenteraman dan Keselamatan, salam hormatku untukmu."
SI nenek katai tertawa panjang lalu berkata.
"Walau pertemuan kita terakhir sekitar lima puluh tahun silam, namun kita sudah saling kenai. Terus terang aku merasa lucu dengan segala basa basi ini. Ampusena, apakah kau baik-baik saja selama ini?"
Resi Kali Jagat Ampusena membungkuk.
"Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, terima kasih. Aku ada baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana…?"
Mulut segi tiga si nenek tersenyum. "Tidak perlu sungkan. Seperti di masa lalu kau boleh memanggil diriku dengan nama asliku Ning Rakanin!. Beberapa bulan silam aku menyambangi makam adikku Ning Prameswari di Bukit Menoreh. Ternyata keadaan makam sangat bersih dan terpelihara. Bunga-bunga tumbuh segar dan mekar di sekeliling makam. Apakah kau yang selama ini merawat makam Itu?"
"Benar Ning Rakaninl. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk tetap menghormati kecintaanku padanya." Jawab Resi Kali Jagat.
Si nenek bernama Ning Rakaninl terdiam sejenak.
Lalu dia berkata. "Ampusena, aku sangat berterima kasih atas semua perhatianmu terhadap mendiang adikku. Sekarang katakan apa tujuanmu menyambangiku di tempat yang sangat rahasia Ini tapi kau berhasil menemukan."
"Hanya atas perlindungan dan bimbingan Para Dewa maka aku bisa sampai ke sini…"
"Sepasang kasut putih yang kau pakai itu turut membantumu?"
"Benar Ning Rakanini. Sepasang kasut ini pemberian Roh Putih yang jadi pelindung diriku." Menjawab Resi Kali Jagat.
"Tapi ketika ada lima mahluk anjing merah besar menyerangmu dan berusaha merampas barang yang kau bawa. Roh Putihmu tidak menolong dirimu! Apakah begitu cara Roh Putih melindungimu?"
Resi Kali Jagat Ampusena terdiam. Rupanya si nenek mengetahui apa yang terjadi di hutan Jati sana.
"Ning Rakanini, terima kasih kau telah memperhatikan diriku. Mengenai pertolongan Roh Putih, tidak selamanya sang penolong selalu turun tangan sendiri. Melalui uluran tangan Yang Maha Kuasa bisa saja yang muncul menolong bukan si pelindung langsung, itu yang terjadi dengan diriku. Ada mahluk berujud jerangkong putih muncul menolong diriku pada kejadian serangan lima ekor anjing merah. Semua itu pasti terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa."
Si nenek yang berdiri di kursi batu anggukanggukkan kepala. Dia menatap ke arah bungkusan hitam yang masih dikempit sang Resi dan memberi Isyarat Resi Kali Jagat Ampusena letakkan bungkusan kain hitam di atas meja batu.
"Ning Rakaninl, maksud tujuanku ke sini adalah untuk menitipkan benda yang ada dalam bungkusan ini…."
"Aku ingin melihat benda itu. Harap kau segera saja membuka bungkusan kain hitam." Kata si nenek pula.
Dengan cepat tapi hati-hati Resi Kali Jagat membuka bungkusan kain hitam. Sepasang mata Ning Rakaninl yang besar dan kecil menatap tak berkesip, alis panjang hitam di kening mencuat pada kedua ujungnya ketika melihat guci putih tembus pandang serta benda yang ada di dalamnya.
"Ampusena, aku tak berani menduga. Katakan benda apa yang ada di dalam guci putih itu. Menurut penglihatanku seperti seekor kadal merah walau tidak ada buntutnya. Aku melihat ada denyutan halus di tubuhnya, apakah mahluk ini dalam keadaan hidup?"
"Ning Rakanini, benda yang ada dalam guci putih adalah jabang bayi hidup berusia tiga bulan calon seorang anak laki-laki." Si nenek berambut kuning bermuka aneh sampai berjingkrak mendengar keterangan Resi Kali Jagat "Dewa Bathara Agungi Baru sekali ini seumur hidup aku melihat jabang bayi ada di luar rahim ibunya!
Dan jabang bayi ini yang hendak kau titipkan padaku. Betul Ampusena?!"
"Betul Ning Rakanini. Aku menitipkan selama enam bulan sepuluh Kari saja. Setelah Itu aku akan datang kembali untuk mengambil ujudnya yang pasti taat itu sudah menjadi seorang bayi"
Sosok nenek bernama Ning Rakanini, pemilik bangunan yang disebut Rumah Ketenteraman dan Keselamatan meluncur ke bawah dan terduduk di atas kursi batu.
"Ini kali pertama aku ketitipan barang berupa jabang bayi. Sulit dipercaya tapi nyata. Dan yang membawanya adalah seorang yang pernah aku harapkan menjadi pendamping hidupku! Bagaimana mungkin aku bisa menolak?!"
***

Jabang Bayi Dalam Guci Bab 17

Pustaka Ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245

Related Posts :

0 Response to "Jabang Bayi Dalam Guci Bab 16"

Posting Komentar