Jabang Bayi Dalam Guci Bab 17

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 185
Jabang Bayi Dalam Guci


TUJUH BELAS
RESI Kali Jagat Ampusena mengusap wajah. Walau wajah itu tidak menunjukkan perubahan namun diam-diam si orang tua merasa dadanya berdebar mendengar ucapan si nenek katai.
"Ampusena, apa kau mau memberi tahu bagaimana cerita riwayat jabang bayi itu? Bagaimana kau sampai ketitipan tugas untuk membawanya ke tempat ini?"
"Beberapa waktu lalu aku bertapa dalam sebuah candi kecil di bantaran Kali Gondang. Hasil tapaku adalah berupa petunjuk dari Roh Putih." Lalu Resi Kali Jagat menuturkan tapa yang dilakukannya sampai kedatangan Roh Putih yang memerintahkannya untuk mencari sebuah mangkok perak berisi seratus mutiara putih.
"Aku berhasil menemukan mangkok perak dan seratus mutiara putih. Sesuai petunjuk Roh Putih aku melakukan semedi. Mutiara dalam mangkok lalu berubah membentuk sebuah guci putih tembus padang lengkap dengan penutupnya. Guci aku isi dengan air embun hingga ketinggian dua pertiganya. Saat itulah Roh Putih kembali menampakkan diri dalam ujud cahaya putih dan memberi petunjuk lebih lanjut. Aku diminta mengikuti arah yang dibawa sepasang kasut yaitu ke jurusan timur. Tak lama setelah mataharti terbit aku akan sampai di satu daerah pesawahan. Di dalam sebuah teratak di tepi sawah aku berjumpa dengan dua orang perempuan. Salah seorang diantaranya tengah mengandung tiga bulan. Namun perempuan Ini tidak sudi mempunyai janin dari benih lelaki yang tidak dicintainya. Dia bermaksud mengeluarkan janin itu dan membunuhnya. Aku diperintahkan oleh Roh Putih untuk menyelamatkan jabang bayi dan memasukkannya ke dalam guci putih."
Ketika Resi Kali Jagat hentikan penuturannya si nenek berkata. "Roh Putih kemudian memintamu membawa jabang bayi dalam guci putih ke tempat kediamanku ini untuk dititipkan. Betul?"
"Betul sekali Ning Rakanini. Keadaan di luar sana masih belum aman. Walau banjir berair merah serta penyakit aneh yang menimpa rakyat telah lenyap namun bahaya tidak terduga bisa saja mengancam secara tiba-tiba. Konon penimbul malapetaka itu adalah mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah, dibantu oleh saudara nyawa kembarnya dan seorang bocah sakti bernama Dirga Purana. Aku tak mungkin pergi kemana-mana membawa jabang bayi dalam guci Ini. Roh Putih menyuruh aku menitipkannya padamu. Sepasang kasut putih membimbing perjalananku sampai di hutan Jati dan aku menemukan pohon Jati yang memiliki dua cabang saling bersilang…"
"Ampusena, ceritamu sungguh luar biasa. Apa kau menyaksikan dengan mata kepalamu ketika ibu dari jabang bayi itu hendak membunuh darah dagingnya sendiri?" Bertanya Ning Rakanini.
"Aku malah melihat ketika dia mengorek keluar janin tak berdosa itu dari dalam perutnya!" Jawab Resi Kali Jagat.
"Keji sekali. Tak terpikir olehku ada ibu yang akan berbuat sejahat itu terhadap darah dagingnya sendiri.
Atau mungkin dia punya alasan untuk melakukan hal itu?"
"Turut cerita yang aku dengar jabang bayi yang dikandung sang Ibu adalah hasil hubungannya dengan seorang Penguasa Negeri yang terletak di alam gaib di puncak gunung. Mungkin Gunung Semeru. Si ibu hanyalah selir dari sang Penguasa dan tidak menginginkan bayi itu terlahir ke dunia…"
"Kau tahu siapa nama ibu jabang bayi ini?" Tanya Ning Rakanini pula.
"Namanya kalau aku tidak keliru adalah Ken Parantili. Setelah jabang bayi aku dapatkan dan dimasukkan ke dalam guci putih aku segera pergi. Dia aku tinggalkan bersama seorang gadis bernama Jaka Pesolek."
Ning Rakanini merenung beberapa ketika lalu berkata. "Ampusena, ada satu hal yang aku kawatirkan."
"Hal apakah itu kalau aku boleh tahu?"
"Minggu demi minggu, bulan demi bulan jabang bayi dalam guci akan berkembang tumbuh menjadi lebih besar. Sementara guci putih besarnya tetap tak berubah. Berarti jabang bayi bisa menemui ajal akibat tergencet dinding guci."
"Ning Rakaninl, hal yang kau tanyakan pernah aku tanyakan juga pada Roh Putih. Aku mendapat jawaban bahwa bersamaan dengan tumbuh serta membesarnya jabang bayi, guci putih tembus pandang akan membesar pula mengikuti besarnya sang janin…."
"Dewa Agung!" Ucap si nenek seraya bergerak bangun dan kembali berdiri di atas kursi batu.
"Satu lagi pertanyaanku. Selama di dalam guci jabang bayi tidak mendapat makanan apa-apa. Lain halnya jika dia berada dalam rahim ibunya. Dia akan mendapat makanan dari tubuh sang ibu. Tanpa makan apa jabang bayi bisa bertahan hidup sampai enam bulan sepuluh hari dimuka?
"Menurut Roh Putih, cairan embun yang ada di alam guci merupakan air dan makanan yang akan menghidupkan jabang bayi karena guci putih itu adalah rahim kedua tempat kehidupan sang janin."
"Luar biasa! Luar biasa!" Ucap si nenek berulang kali.
Resi Kali Jagat menutup guci putih kembali dengan kain hitam.
"Aneh, tiba-tiba saja aku menjadi haus," berkata Ning Rakanini. "Ampusena, jika kau memang sedang berpuasa dan tidak mau minum air bening sejuk dalam cangkir, biar aku saja yang meneguknya."
"Ning Rakanini, apakah kau lupa kalau hari ini kau sebenarnya juga tengah berpuasa?"
Ucapan sang Resi membuat si nenek terkejut heran.
"Seumur hidup aku tidak pernah berpuasa. Apa maksud bicaramu Ampusena?"
Resi Kali Jagat menatap ke arah cangkir tanah berisi air putih bening. Tangan kiri diulurkan memegang cangkir. Lalu cangkir di angkat ke atas dan dibalikkan. Air putih di dalam cangkir serta merta jatuh tumpah ke bawah. Sebelum menyentuh lantai ruangan batu tumpahan air yang putih bening tampak bersinar merah. Begitu air menyentuh lantai terdengar suara dess….dess….desss! Asap merah mengepul. Ketika asap lenyap, lantai batu kelihatan retak terkuak dan berlobang merah hangus di beberapa bagian.
"Ning Rakanini, kau bisa membayangkan kalau air dalam cangkir masuk ke dalam perutmu. Batu lantai saja bisa retak dan berlobang."
Berubahlah paras si nenek.Tubuhnya yang katai kembali melompat dan berdiri di atas kursi batu.
"Ampusena, kau tidak menyindir atau menuduh kalau aku telah meletakkan sesuatu dalam minuman itu untuk meracuni dan membunuhmu?!"
"Sama sekali tidak. Aku hanya secara kebetulan melihat ada warna merah dalam air sewaktu cangkir kau letakkan di atas meja."
"Berarti ada seseorang hendak mencelakai dirimu.
Berarti kau sebenarnya juga tidak puasa!"
"Benar, aku hanya menolak minum secara halus.
Maaf kalau itu membuatmu tersinggung."
"Kurang ajar! Ada musuh dalam selimut di tempat ini!"
Ning Rakanini bertepuk tiga kali. Dua dinding ruangan, sebelah kiri dan sebelah kanan bergeser membuka. Dari setiap dinding yang terbuka keluar enam orang perempuan berpakaian pelayan. DI pinggang masing-masing membekal tombak pendek terbuat dari besi hitam Mereka semua berwajah bopeng.
Sekali lihat saja Resi Kali Jagat segera maklum kalau muka bopeng itu hanyalah topeng tipis penutup wajah belaka.
Begitu berada di ruangan ke dua belas gadis pelayan membungkuk memberi penghormatan pada si nenek, melirik sekilas ke arah Resi Kali Jagat lalu berlutut di lantai.
"Siapa dlantara kalian yang tadi telah menghidangkan secara gaib air putih dalam cangkir? Lekas berdiri dan melangkah ke hadapanku!"
Untuk beberapa ketika ruangan batu menjadi sunyi senyap. Kalau si nenek menatap ke arah dua belas orang pelayan dengan mata mendelik marah, sebaliknya sang Resi memandang dengan tenang.
"Tidak ada yang menjawab? Tidak ada yang mau mengakui baik. Semua kalian akan menerima kematian saat ini juga!"
Ning Rakanini jadi marah. Mulut segi tiganya memaki berulang kali lalu dua tangan dipentang ke kiri dan kanan. Saat itu dua tangan tampak berubah menjadi hitam dan memancarkan cahaya menggidikkan. Dua belas gadis pelayan bermuka bopeng tundukkan kepala seolah pasrah menerima hukuman maut!
Tiba-tiba salah seorang diantara para gadis bermuka bopeng berdiri dari berlutut lalu melangkah ke hadapan Ning Rakanini. Di depan si nenek dia jatuhkan diri berlutut.
"Kau. Perlihatkan wajahmu!” Bentak Ning Rakanini.
Si gadis segera tanggalkan topeng yang menutupi wajah dan kini terlihat muka aslinya. Ternyata dia adalah seorang gadis berkulit kuning berwajah ayu jelita.
"Menur Kembiri!" Teriak Ning Rakanini menyebut nama si gadis. "Jadi kau orangnya! Katakan apa yang telah kau lakukan dengan minuman di dalam cangkir!"
"Mohon ampunanmu Ajeng Puteri Ning Rakanini.
Seorang pemuda asing telah menyuruh saya memasukkan sejenis bubuk merah ke dalam minuman dalam cangkir. Saya tidak kuasa menolak karena saya telah bercinta dengan dia." Sang pelayan menyebut si nenek dengan panggilan Ajeng Puteri.
"Jahanam kurang ajar! Siapa pemuda itu! Dimana dia sekarang?!" Hardik Ning Rakanini Gadis bernama Menur Kembiri angkat kepala, memandang seputar ruangan lalu menunjuk ke atap ruangan sudut sebelah kiri.
Walau tidak melihat apa-apa namun tidak menunggu lebih lama Ning Rakanini segera hantamkan dua tangannya ke sudut atas ruangan yang ditunjuk si pelayan.
"Blaarr!"
Dua larik sinar hitam menderu ke atap ruangan.
"Braakk!"
Sudut atap ruangan hancur berantakan, memunculkan satu lobang besar. Sesaat sebelum dua larik sinar pukulan sakti si nenek menghancurkan atap ruangan di sudut kiri selarik cahaya kuning tampak melesat. Ketika atap hancur membentuk lobang, pada lobang besar itu tampak berdiri seorang anak lelaki berpakaian mewah serba hitam. Di telinga kiri mencantel sebuah anting emas.
"Kurang ajar! Pembohong sialan! Cuma seorang bocah kau menyebutnya seorang pemuda!" Teriak Ning Rakanini sambil pelototkan mata pada Menur Kembiri.
Dalam keadaan tambah marah si nenek melesat dari kursi batu. Dua tangan diluruskan ke arah si bocah, tinju dikepal. Dari dua kepalan kemudian menyembur cahaya kebiruan.
"Ning Rakanini! Tahan serangan!" Teriak Resi Kali Jagat tapi si nenek tidak perduli. Tubuhnya terus melesat malah dia lipat gandakan tenaga dalam.
Anak lelaki yang berdiri di dalam lobang besar di atap bangunan hentakkan kaki kanannya ke pinggiran lobang. Saat itu juga udara terasa pengap.
Sosok Ning Rakanini yang melesat dalam ruangan mendadak tertahan dan mengapung di udara. Resi Kali Jagat dan semua orang yang ada di tempat itu juga merasa tubuh mereka kaku. Si bocah tertawa bergelak.
Matanya memandang berkilat ke arah bungkusan kain hitam di atas meja batu. Ketika dia hendak melompat siap mengambil bungkusan berisi guci putih tiba-tiba ada suara seperti orang melangkah. Hebatnya setiap langkah yang terdengar membuat seluruh bangunan terasa bergoyang. Lalu ada suara mengiang yang di telinga si bocah di dalam lobang di atas atap.
"Sang Junjungan! Ada mahluk asing datangi Lekas pergil Saat ini kita belum beruntungl Lain kali kita coba lagi!"
Anak lelaki unjukkan wajah tidak senang. Mata masih memandang berkilat ke arah bungkusan kain hitam. Namun dia maklum harus mengalah. Si bocah membuat gerakan. Tapi bukannya melesat meninggalkan ruangan melainkan justru melayang turun memasuki ruangan dan menyambar tubuh Menur Kembiri lalu dipanggul. Si bocah hentakkan kaki kanan ke lantai. Begitu sebuah lobang besar dan dalam muncul di lantai si bocah segera ceburkan diri ke dalam lobang. Sesaat kemudian lobang lenyap, lantai kembali rata seperti semula.
Hanya sesaat setelah si bocah kabur memboyong gadis pelayan yang cantik itu Ning Rakanini mampu gerakkan tubuh dan melayang turun ke atas kursi batu.
Resi Kali Jagat serta sebelas pelayan perempuan lainnya juga lepas dari ilmu aneh yang membuat mereka semua kaku tak mampu bergerak.
"Ampusena! Kau melarang aku menyerang bocah itu? Kenapa? Memang dia siapa? Kau lihat sendiri dia membawa kabur seorang pelayanku! Bocah itu kurasa baru berusia sekitar dua belas tahun. Tapi sudah tahu perempuan. Bedebah jahanam! Ampusena kau juga mendengar penjelasan dan tahu kalau bocah itu hendak meracunmu melalui pelayan itu! Dia mampu masuk menerebos ke tempat inil Baru satu kali terjadi seumur hidupku ada orang bisa masuk tanpa izinku!"
"Ning Rakanini, maafkan aku. Aku bermaksud baik.
Mencegahmu agar tidak membuka silang sengketa dengan kelompok orang-orang jahat yang menyanjung apa yang dinamakan Sukma Merah. Bocah tadi adalah Dirga Purana, seorang anak sakti yang sering membantu orang-orang Sukma Merah. Aku yakin dia datang ke sini bukan cuma hendak membunuhku, tapi juga ingin merampas guci putih berisi jabang bayi."
"Nah, nah ternyata dia seorang bocah jahat anggota komplotan Sukma Merahi Aku pernah mendengar pimpinan kelompok itu. Satu mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi aku dengar nyawanya sudah amblas. Aku menyesal kau telah menghalangi diriku membunuhnya. Padahal kalau tadi aku bisa menghabisinya berarti aku telah berbuat bakti besar pada Kerajaan Mataram! Bukankah komplotan itu yang telah menimbulkan malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram?"
"Ning Rakanini, tidak aku cegahpun kau tidak bisa membunuhnya. Dia keburu mengeluarkan kesaktian yang disebut Ilmu Membungkam Bumi.
Dalam lingkaran sepuluh tombak semua mahluk hidup yang ada akan menjadi kaku tak mampu bergerak."
Si nenek terdiam sejurus. Dia berpaling ke kiri dan kanan ke arah para pelayan bertopeng wajah bopeng.
"Kalian semua! Kembali ke tempat kalian!" Si nenek menghardik.
Sebelas pelayan yang sejak tadi berlutut segera berdiri lalu berlari keluar meninggalkan ruangan lewat dua pintu di dinding. Setelah semua pelayan keluar dua pintu kembali bergeser menutup.
Tinggal berdua di dalam ruangan Ning Rakanini berkata.
"Ampusena, aku merasa malu dan sangat terpukul.
Ada orang mampu menembus masuk ke tempatku ini.
Aku harus membenahi pengamanan kalau tidak tempat ini tidak bisa lagi dinamakan Rumah Ketenteraman dan Keselamatan. Aku mohon kau mau meninggalkan tempat ini sekarang juga."
"Aku mengerti kesulitan yang kau hadapi. Namun kalau aku boleh bertanya apakah ucapanmu tadi berarti kau menolak ketitipan guci putih berisi jabang bayi ini?"
"Aku tidak menolak. Tapi dengan adanya kejadian seorang bocah bisa menerobos masuk lalu kabur begitu saja dari sini, aku tidak bisa menjamin keselamatan guci."
Tiba-tiba suara langkah-langkah aneh yang membuat bangunan bergoyang muncul kembali. Di lobang di atas atap muncul satu kepala luar biasa besar berkepala botak. Kepala raksasa I Di kening ada tanduk memancarkan cahaya merah. Sepasang mata besar menjorok keluar, bagian putihnya hanya memiliki satu titik hitam kecil, melirik berputar. Lalu terdengar suara seperti orang mengorok. Ketika dua lobang hidung menghembuskan nafas, baik si nenek maupun sang Resi merasa mata mereka menjadi perih. Lalu terdengar si pemilik kepala di lobang berucap.
"Jika tidak ada yang mau ketitipan guci putih berisi jabang bayi Itu, berikan padaku!"
Resi Kali Jagat dan Ning Rakanini sama-sama terkejut.
"Ada lagi yang mau membuat onar dan menerobos masuk ke dalam tempat kediamanku!" Kata si nenek.
Dua tangan diangkat dan serta merta menjadi hitam berkilat "Tahan! Jangan!"
Resi Kali Jagat cepat berteriak.
***

TAMAT
Serial Wiro Sableng Terhenti Sampai Disini Setelah Sang Penulis Meninggal Dunia

Pustaka Ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245

Related Posts :

0 Response to "Jabang Bayi Dalam Guci Bab 17"

Posting Komentar