Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 6

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa

ENAM
DALAM melarikan kuda hitamnya laksana diburu setan itu, masih terbayang di pelupuk matanya upacara pembakaran jenazah Ni Ayu Tantri. Masih terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula bagaimana Ni Warda, istri I Krambangan dengan segala ketabahan dan keberanian yang luar biasa mencebur masuk ke dalam gejolak api di mana jenazah suaminya dibakar!
Berhenti di puncak bukit itu dikeluarkannya sebuah kotak kayu jati yang berukir-ukir dari balik pakaiannya. Sebelum abu pembakaran jenazah Tantri dibuang kelaut, pemuda ini telah memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di dalam kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata, "Tantri, aku bersumpah untuk membalas sakit hatimu dan keluargamu! Bila manusia-manusia keji itu berhasil kutumpas, akupun rela untuk menyusulmu!"
Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke balik pakaiannya kembali. Ketika tali kekang kuda hitam hendak disentakkannya, matanya melihat seorang penunggang kuda keluar dari hutan, memasuki jalan kecil di kaki bukit lalu memacu kudanya ke arah timur. Entah karena apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda di atas puncak bukit terhadap penunggang kuda di bawah sana. Dia memandang ke timur. Jika dia bergerak cepat, sekurang-kurangnya dia akan berhasil menyusul orang itu dan menunggunya di tikungan dekat jurang di sebelah timur sana! Setelah mempertimbangkan sebentar niatnya itu akhirnya diletakkannya tali kekang dan larilah kudanya menuju ke timur.
Kira-kira setengah jam kemudian pemuda berkuda hitam itu sudah berada di tikungan jalan. Tikungan itu selain patah tajam juga berbahaya karena di sebelah kirinya terdapat jurang batu yang sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di tepi kanan jalan pemuda ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda yang tadi dilihatnya lalu.
Kira-kira lewat sepeminum teh telinga pemuda ini mulai menangkap suara derap kaki-kaki kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin jelas dan keras tanda kuda dan penunggangnya sudah tambah dekat. Ketika orang yang dihadangnya itu tinggal beberapa tombak saja, pemuda berkuda hitam keluar dari balik tebing batu.
Orang yang dihadang, seorang pemuda berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh curiga akan kemunculan seorang penunggang kuda di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya satu-satu jalan yang menghubungkan Denpasar jengan daerah luar kota. Jadi adalah biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain. Namun sewaktu melihat pemuda berkuda hitam itu sengaja berhenti di tengah jalan maka syak wasangkalah hatinya. Pemuda berpakaian bagus itu menghentikan kudanya dalam jarak lima belas langkah.
Keduanya saling pandang sejurus. Pemuda yang berpakaian bagus akhirnya membuka mulut, "Saudara, harap kau suka memberi jalan."
"Saudara! Apa kau tak dengar orang minta jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus, berbadan tinggi kurus dan berwajah pucat pasi. Suaranya mulai keras tanda gusar.
"Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!" kata pemuda berkuda hitam tapi dia sama sekali tidak menepikan kuda tunggangannya!
Melihat ini pemuda berpakaian bagus jadi penasaran dan membentak: "Siapa kau? Apa maksudmu menghadang perjalanan orang!!"
Satu seringai tersungging di mulut pemuda berkuda hitam. "Akui terus terang manusia muka pucat! Kau tentu bangsatnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra dari Denpasar!"
Ucapan ini membuat pemuda berpakaian bagus menjadi kaget. Nalurinya memperingatkan agar mulai detik itu dia harus berhati-hati karena memang dia adalah Tjokorda Gde Djantra!
"Katakan dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!"
Sebagai jawaban pemuda berkuda hitam mencabut sebilah keris bereluk tujuh berwarna coklat tua. Sinar matahari yang terik membuat senjata ini berkilau memancarkan sinar kehitaman!
"Silahkan cabut keris di pinggangmu! Aku yakin kau adalah manusia keji yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Aku Nyoman Dwipa kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan jiwamu saat ini juga sebagai pertanggungan jawab atas apa yang telah kau lakukan terhadap gadisku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I Krambangan serta empat orang kawan-kawannya!"
Kejut Tjokorda Gde Djantra bukan alang kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia tertawa gelak-gelak kemudian berkata, "Jadi ini tampang manusia yang mengaku kekasih Ni Ayu Tantri? Ha . . . ha … ha! Tampangmu boleh juga sobat! Tapi kalau kau punya rencana untuk membunuhku, kau harus berpikir tiga kali sebelum melakukannyal Apakah kau punya kepandaian yang bisa diandalkan? Hidungku membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke desamu, cuci kaki dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra tertawa lagi terbahak-bahak!
Nyoman Dwipa kertakkan rahang-rahangnya dan majukan kudanya beberapa langkah.
"Tertawalah sepuasmu manusia keji. Kalau kau sudah mampus hanya setan iblislah yang akan tertawa menyambutmu di liang kubur!"
Tjokorda Gde Djantra mendengus lalu berkata,
"Aku yakin tentu kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuh kekasihmu itul Semua orang berpikir begitu! Alangkah tololnya! Sungguh kurang ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat tanpa punya bukti-bukti kuat dan nyata!"
"Pemuda keji! Lamaranmu ditolak! Adalah cukup alasan bagimu untuk menculik Ni Ayu Tantri!"
Tjokorda Gda Djantra kembali mendengus dan menjawab,
"Kau kira cuma gadis itu saja yang ada di pulau Bali ini? Sepuluh gadis-gadis lebih cantik bisa kuambil sekaligus untuk jadi istriku, perlu apa aku sampai menculik perempuan tak berguna dan hina dina itu!"
"Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau manusia biang racun yang telah melakukan kejahatan kotor terkutuk itu!"
"Aku katakan padamu sobat! Jangan menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde Djantra.
Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian. Ketika tangan itu keluar lagi kelihatan memegang sebuah benda bundar yang ternyata adalah sebuah kancing baju yang terbuat dari perak.
"Manusia laknat pengecutl Kancing baju ini ditemukan di pondok di tepi telaga. Kancing ini sama bentuknya dengan kancing pakaian yang kau kenakan saat ini! Apakah mulut busukmu masih mau mungkir!’
Tjokorda Gde Djantra terdiam. Kancing perak itu memang kancing pakaiannya yang telah direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu dia hendak merusak kehormatan gadis itu!
"Kau terdiam dan tampangmu tambah pucatl Sekarang bersiaplah untuk mampus!" teriak Nyoman Dwipa. Tali kekang disentakkannya. Kuda melompat ke muka dan keris berluk tujuh di tangan kanannya berkelebat dengan ganas, mengirimkan satu tusukan ke arah dada kanan Tjokorda Gde Djantra!
"Trang!!!"
Terdengar suara beradunya senjata sewaktu Tjokorda Gde Djantra menangkis serangan lawan dengan keris Bradjaloka bereluk tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas punggung kudanya Nyoman Dwipa terkejut bukan main! Daya tangkis lawan kuat luar biasa hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi tubuhnyapun terhuyung-huyung. Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang pada tali kekang kuda mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan yang lebih mengejutkan serta membuat pemuda ini mengeluh dalam hati ialah sewaktu melihat bagaimana bagian yang tajam dari kerisnya yang cuma bereluk tujuh telah gompal dihantam keris lawan dalam bentrokan senjata tadi!
Mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda Gde Djantra berkakakan seraya melontarkan ejekan,
"Manusia yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak jual lagak besar di hadapanku!"
"Iblis bermuka manusia pucat!" jawab Nyoman Dwipa, "percuma aku menghadangmu kalau tidak dapat mencincang seluruh tubuhmu!"
Tjokorda Gde Djantra ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman untuk kedua kalinya melancarkan serangan dari depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan lawannya hanya pancingan belaka. Begitu Tjokorda Gde Djantra menggerakkan tangan untuk menangkis, keris di tangan Nyoman Dwipa berkelebat turun dan membabat ke arah perut!
"Keparat!" maki Tjokorda Gde Djantra. Disentakkannya tali kekang kudanya hingga binatang itu melompat ke depan dan dengari memiringkan tubuhnya pemuda ini berhasil mengelakkan sambaran keris lawannya. Namun Nyoman Dwipa rupanya tidak kepalang tanggung. Dengan amat cepat pemuda ini susulkan satu tendangan kaki kanan!
Masih untung Tjokorda Gde Djantra sempat berkelit. Tapi kuda tunggangannya bernasib sial. Tendangan Nyoman Dwipa mendarat tepat di leher binatang itu. Kuda ini meringkik keras, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan membuat penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah!
Tjokorda Gde Djantra seorang pemuda turunan bangsawan yang telah menuntut ilmu silat dan kebatinan serta kesaktian pada seorang sakti di puncak Gunung Agung bernama Sorablungbung. Di pulau Bali pada masa itu terdapat tiga orang tokoh silat kawakan yang sangat tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Salah seorang di antaranya ialah Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda yang diam di Danau Batur. Karena dia sering mengembara maka jarang sekali dia berada di Danau tersebut.
Tokoh silat ketiga bernama Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua persilatan di Pulau Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak Putuwengi karena tokoh silat yang berumur 70 tahun ini lenyap begitu saja dari dunia persilatan, entah mengundurkan diri entah telah menemui ajalnya. Di antara ketiga tokoh silat itu Menak Putuwengilah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Senjatanya segala benda apa saja yang berbentuk tongkat, baik beberapa helai lidi atau daun bambu ataupun ranting kering atau besi, bila berada di tangannya pasti akan menjadi senjata yang dahsyat. Karena itulah Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat Penjuru Angin. Pernah sekitar lima belas tahun yang lalu ketiga tokoh itu bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan pertandingan persahabatan, menguji ilmu kepandaian masing-masing. Dalam pertandingan yang sangat hebat dan dihadiri oleh tokoh-tokoh silat di Pulau Bali maka Menak Putuwengi keluar sebagai jago nomer satu setelah berturut-turut mengalahkan Sorablungbung dan Walalang Tjarda. Setelah lima belas tahun berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya yang lebih hebat karena di samping ketiga orang tokoh itu tak pernah lagi mengadakan pertandingan juga kabarnya Sorablungbung serta Walalang Tjarda telah memperdalam ilmu masingmasing hingga mencapai tingkat yang sangat tinggi. Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu saja tak diketahui kemana perginya!
Sebagai salah seorang murid Sorablungbung yang pernah digembleng selama empat tahun, dengan sendirinya Tjokorda Gde Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dibandingkan dengan Nyoman Dwipa yang cuma berguru pada seorang pertapa yang tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah Sorablungbung dengan sendirinya Nyoman Dwipa bukan apa-apa bagi Tjokorda Gde Djantra. Tapi karena kurang hati-hati meski tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi Tjokorda Gde Djantra kena juga dihantam lawan meski kudanya yang menjadi korban!
Tjokorda Gde Djantra terpelanting ke tanah tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu dan tetap berdiri. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih.
"Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!"
Tjokorda Gde Djantra melompat ke muka, tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam satu jurus yang hebat! Nyoman Dwipa terkejut ketika melihat bagaimana kecepatan gerak lawannya membuat tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana lenyap. Dia cuma merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan maka cepat-cepat pemuda ini melompat turun dari kudanya.
"Breet!"
"Buuk!"
Dua suara itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara robeknya pakaian Nyoman Dwipa di sambar ujung keris Brajaloka sedang suara kedua ialah suara pukulan dahsyat yang menghantam kepala kuda hitam milik Nyoman Dwipa. Binatang ini rubuh dengan kepala pecah, melejang-lejang beberapa ketika lalu tak bergerak lagi!
"Kudamu sudah duluan, Nyoman Dwipa! Dia akan menunggumu untuk membawa tuannya ke neraka!" ejek Tjokorda Gde Djantra!
Sebenarnya sejak bentrokan senjata pertama kali tadi Nyoman Dwipa telah memaklumi bahwa tingkat kepandaian ilmu silat dan tenaga dalam Tjokorda Gde Djantra bukanlah lawannya. Tapi untuk membatalkan niatnya menuntut balas tentu saja pemuda itu tidak sudi! Lebih baik mati secara jantan dari pada lari atau menyerah secara pengecut!
Dengan mengeluarkan bentakan yang keras Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas. Seperti tadi kedua tangannya bergerak cepat. Nyoman Dwipa bertahan mati-matian. Dalam jurus itu dia berhasil mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus berikutnya, satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat lagi mempertahankan kerisnya! Senjata itu terlepas mental dihantam senjata lawan!
Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah mendekati Nyoman Dwipa yang kepepet ke tepi jurang, Tjokorda Gde Djantra berkata, "Kau akan segera mampus sobat! Dan kau tahu …? Betapa mengerikannya kematian itu! Kau lihat keris Brajaloka yang terbuat dari emas di tanganku ini? He … he..! Sebentar lagi sobat! Beberapa detik lagi kau akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha . . Ha . . ha …!"
Tjokorda Gde Djantra mengangkat tangan kanannya yang memegang keris tinggi-tinggi sementara dalam keadaan kepepet ke tepi jurang itu Nyoman Dwipa berusaha mencari jalan agar dapat menyelamatkan diri! Kalau lawan menyerang dia sudah nekat untuk menyerbu ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh Tjokorda Gde Djantra dan sama-sama menghambur masuk jurang! Itu adalah cara yang paling baik menurut Nyoman Dwipa asal saja dia benar-benar bisa melakukannya!
Jarak kedua orang itu semakin pendek dan kini cuma tinggal empat langkah saja lagi. Antara Nyoman dengan tepi jurang di tikungan jalan itu hanya satu setengah langkah saja. Nyoman Dwipa memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia menunggu dengan kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke muka, menunggu kesempatan yang ada!
Mendadak Tjokorda Gde Djantra hentikan langkahnya dan kembali dia tertawa gelak-gelak. Bila suara tertawa itu dihentikannya maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak akan membunuhmu dengan keris ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar biasa sobat! He … he … he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila jatuh ke dalam jurang di belakangmu itu? Kematian menunggumu di batu-batu cadas di bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju detik-detik kemampusan itu kau akan dikungkung kengerian yang luar biasa!"
Nyoman Dwipa menggeram mendengar ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra yang ganas itu. Dia tak bisa
menunggu lebih lama! Saat itu juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul tubuh lawannya walau apapun yang
terjadi! Maka tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan lawannya. Tjokorda Gde Djantra mendengus. Dengan seringai maut tersungging di mulutnya pemuda ini memukulkan tangan kirinya ke depan! Nyoman Dwipa merasakan satu sambaran angin yang laksana badai hebatnya! Bagaimanapun dia berusaha untuk tidak tersapu angin dahsyat itu tapi sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat mental sampai enam tombak untuk kemudian jatuh ke dalam jurang diiringi suara kumandang tertawa Tjokorda Gde Djantra.
***

Next ...
Bab 7

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




Related Posts :

0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 6"

Posting Komentar