Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 7

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa

TUJUH
DALAM tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya memang merasa ngeri sekali! Siapa yang tak akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui bahwa ajalnya akan sampai begitu tubuhnya menghantam batu-batu cadas besar di dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian yang bakal dihadapinya itu adalah kematian secara jantan, ditabahkannya hatinya. Dia percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di alam akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau di dunia mereka tak punya kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat hal itu akan kesampaian.
Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh pemuda itu. Di atas jurang masih mengumandang suara tertawa Tjokorda Gde Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman Dwipa namun ketika sekilas matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu besar yang cuma tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan kepala dan tulang-tulang ditubuhnya, Nyoman Dwipa jatuh pingsan!
Tapi dalam kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan bahwa sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah yang terjadi dengan diri Nyoman Dwipa.
Sewaktu tubuh pemuda itu hanya tinggal enam tombak saja lagi dari permukaan sebuah batu cadas yang sangat besar berkelebatlah satu bayangan putih yang dibarengi dengan suara seruan, "Dewa Agung!!!"
Yang berseru ini adalah seorang kakek-kakek tua renta berpakaian putih. Rambutnya yang panjang terurai macam rambut perempuan, janggutnya yang menjela dada serta kumis bahkan kedua alisnya berwarna putih bersih macam kapas. Meski umurnya sudah lebih dari 70 tahun tapi kakek-kakek ini memiliki tubuh yang masih kekar dan kegesitan yang luar biasa. Sewaktu dia melinat sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang kejutnya bukan alang kepalang. Dia tidak tahu apakah manusia yang jatuh itu masih hidup atau sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini segera mengangkat kedua tangannya dan mendorong ke atas!
Satu gelombang angin padat bertiup memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk beberapa detik tubuh pemuda itu tertahan di awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh tubuh pemuda itu si orang tua menggerakkan kedua tangannya ke kanan. Tubuh Nyoman Dwipa terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan ketika jatuh kembali ke bawah orang tua itu menyambutnya dengan kedua tangan! Sungguh luar biasa apa yang dilakukan orang tua ini.
Tubuh Nyoman Dwipa dipanggul di atas bahu kanan dan sekali berkelebat orang tua itu sudah lenyap dari pemandangan. Si orang tua membawa Nyoman Dwipa ke dalam sebuah goa batu dan setelah diperiksa ternyata pemuda itu masih bernafas. Kakek-kakek ini mengurut dada dan kening Nyoman Dwipa beberapa kali hingga akhirnya pemuda itu sadar dari pingsannya. Setelah membuka kedua matanyaı Nyoman Dwipa kemudian memandang berkeliling. Sekelilingnya ruangan batu yang bersih. Apakah aku sudah berada di alam baka, pikir pemuda ini. Tapi bila matanya membentur tubuh dan paras seorang tua berpakaian putih-putih, berkumis dan berjanggut putih heranlah pemuda ini. Orang tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah ruangan. Kedua telapak tangannya saling dirapatkan di muka dada sedang kedua matanya terpejam. Nyatalah orang tua ini tengah bersemedi.
Tapi anehnya begitu Nyoman Dwipa menyalangkan mata dan memandang terheran-heran berkeliling, tanpa membuka matanya si orang tua berkata: "Orang muda, kau tak usah heran. Kau berada di tempat aman."
"Di manakah saya, bapa? Apa yang telah terjadi dan siapakah bapa ini …?" tanya Nyoman Dwipa seraya bangun dari tempat tidur yang terbuat dari batu.
Tanpa membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata: "Kau berada di tempat yang aman orang muda. Ketika aku berada di dalam goa kudengar suara bentakan-bentakan yang diseling suara tertawa serta suara beradunya senjata di atas. Aku keluar dari goa tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar jurang. Selanjutnya Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau dari kematian . . .".
Kini ingatlah Nyoman Dwipa akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia bertempur dengan Tjokorda Gde Djantra kemudian didorong dengan satu pukulan dahsyat hingga mencelat mental dan jatuh masuk jurang! Dari ucapan si orang tua berambut putih meski dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah menyelamatkan jiwanya tapi Nyoman Dwipa sadar bahwa orang tua inilah yang telah menolongnya dari renggutan maut. Segera Nyoman Dwipa turun dari tempat tidur batu, melangkah ke hadapan kakek-kakek itu dan berlutut seraya berkata, "Orang tua, aku Nyoman Dwipa menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas budi pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini dan semoga Dewa Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu namamu agar sewaktu-waktu aku tidak sukar mencarimu."
Si orang tua tertawa dan menjawab, "Apalah artinya nama? Kita dilahirkan tanpa nama. Apa gunanya menyebut-nyebut segala hutang nyawa karena memang kita manusia ditugaskan Yang Kuasa untuk menolong sesama manusia. Orang muda, cobalah kaus terangkan apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari tepi jurang."
Nyoman Dwipa lalu menuturkan pertempurannya dengan Tjokorda Gde Djantra bahkan diterangkannya juga pangkal sebab pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan dan empat orang penduduk Klungkung.
Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk pertama kalinya dia membuka kedua matanya. Mata itu sipit sekali macam mata orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang tajam penuh wibawa!
"Cinta itu pada dasarnya adalah sesuatu yang suci. Tapi nafsu selalu membuatnya menjadi hal yang kotor. Seringkali menusia buta karena cinta, karena kecantikan paras perempuan. Kalau sudah begitu segala sesuatunya yang keji dan kotor bisa terjadi hingga tidaklah aneh lagi kalau manusia tega membunuh manusia lain bahkan sahdara kandungnya sendiri hanya karena cinta."
Nyoman Dwipa termangu diam beberapa lamanya. Kemudian katanya: "Orang tua beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan tempat ini kuharap kau suka memberi petunjuk-petunjuk padaku."
"Kau hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati dendam kesumatmu itu, Nyoman?"
"Benar, orang tua." jawab Nyoman Dwipa terus terang.
"Kau tak akan kuat menghadapi Tjckorda Gde Djantra," kata kakek-kakek itu pula secara terus terang. "Buktinya pukulan tangan kosongnya saja sanggup mengirimkan kau ke liang maut jika saja Dewa Agung tidak menghendaki agar kau tetap hidup. Kau mungkin tidak tahu siapa adanya Tjokorda Gde Djantra. Dia salah seorang murid Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di puncak Gunung Agung."
Terkejutlah Nyoman Dwipa mendengar keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup melawan Tjokorda Gde Djantra. Maka kalau diteruskannya niat untuk membalas dendam dengan tingkat kepandaian yang jauh lebih rendah pastilah akan sia-sia belaka dan diam-diam pemuda ini mengeluh dalam hati. Diangkatnya kepalanya yang ditundukkan dan berkata dengan sungguh-sungguh pada si orang tua.
"Aku yang bodoh ini mohon petunjukmu orang tua."
Kakek-kakek itu tertawa. Sampai saat itu Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa sesungguhnya dia berhadapan. Kakek kakek berambut dan berjanggut putih itu bukan lain Menak Putuwengi itu tokoh silat yang paling tinggi ilmu kesaktiannya di antara tokoh-tokoh silat lainnya sekitar belasan tahun yang silam!
"Aku tak bisa memberi petunjuk apa-apa padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi pula.
Pemuda itu merasa kecewa tapi juga heran ketika melihat dalam berkata itu si orang tua tersenyum. Dan Menak Putuwengi lantas berkata, "Aku cuma bisa mengajukan satu tawaran. Sudikah kau mempelajari permainan silat ilmu tongkat? Bukan aku sombong, dalam tempo dua-tiga bulan saja pasti kau dapat mengalahkan murid Sorablungbung itu."
Bukan alang kepalang gembiranya hati Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam ,dan menjawab: "Tentu saja mau. Kalau kau tak keberatan mulai saat ini aku akan memanggilmu guru. Sekali lagi aku mohon agar kau sudi memberitahu namamu, orang tua…"
"Ah, soal namaku …" kata Menak Putuwengi, "Sudah sejak belasan tahun dilupakan dunia persilatan di Pulau Bali ini. Biarlah nanti saja kuberi tahu padamu. Nah sekarang mari kita berangkat …"
"Berangkat kemana guru?" tanya Nyoman tak mengerti.
"Goa ini terlalu sempit dan kurang baik untuk belajar ilmu silat. Kau lihat pedataran tinggi di sebelah, timur sana ….?" ujar Menak Putuwengi seraya menunduk keluar goa. "Disitu lebih cocok tempatnya."
"Baiklah guru", jawab Nyoman Dwipa seraya bangkit dan mengikuti gurunya keluar goa. Ternyata bagian lamping kiri dari jurang tersebut menuju ke sebuah daerah pesawangan yang banyak ditumbuhi lalang lebat. Menak Putuwengi kelihatannya berjalan lenggang kangkung seenaknya. Tapi bagaimanapun Nyoman Dwipa mengerahkan ilmu larinya, tetap saja dia ketinggalan belasan tombak di belakang!
Sesampainya di pedataran tinggi itu, Nyoman Dwipa tercengang-cengang melihat indahnya pemandangan di sekelilingnya.
"Kita mulai saja pelajaran permulaan", kata Menak Putuwengi. "Coba keluarkan dan perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu silat yang kau miliki."
Atas perintah gurunya itu maka Nyoman Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh jurus.
"Sudah . . . sudah cukup!" seru Menak Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari pada lumayan. Tapi permulaan yang cukup baik!" Habis berkata begitu Menak Putuwengi lantas mematahkan dua buah ranting pohon. Salah satu diberikannya kepada Nyoman Dwipa seraya berkata, "Pertama kali ini kuberikan kau dasar-dasar ilmu tongkat. Kemudian kau harus melatih diri dalam tenaga dalam dan meringankan tubuh."
Demikianlah, mulai saat itu Nyoman Dwipa digembleng oleh tokoh silat klas satu Menak Putuwengi.
***

Next ...
Bab 8

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




Related Posts :

0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 7"

Posting Komentar