Sepasang Iblis Betina Bab 3

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 014
Sepasang Iblis Betina

TIGA
DENGAN sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga serangan mendadak yang berbahaya itu berhasil dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan lagi melesat ke arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo Darmo.
Habis membentak begitu dengan tak kalah hebat dia mengirimkan serangan balasan berupa satu tendangan ke uluhati lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara yang kemudian melancarkan serangan balasan yang amat berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala Aryo Darmo akan dihantam satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi tercekat hatinya. Dari gerakan serangan serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih tinggi darinya. Pada dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri. Tapi apa yang diketahui dan yang telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah membuat pemuda ini kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku jangan biarkan bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari sibakan semak belukar di mulut goa.
"Tentu saia kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat lihay yang bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat tinggi ke udara dan, di lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi dengan seringai buruk.
"Perempuan dajal! Kau kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya berkelebat melancarkan satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan langkah. Sebelum pukulan tangan kosong tersebut sampai, dia membuat satu lompatan sebat dan tahutahu tangan kirinya telah menderu ke batok kepala Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau andalkan?!"
kata Nilamahadewi dengan tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah gadis itu berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran si pemuda mengirimkan serangan susulan yang bernama "empat dewa murka". Serangan ini mempergunakan kedua tangan dan kaki yang digerakkan susul menyusul dan kehebatannya cukup membuat kagum karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu hanya tinggal bayangbayang saja.
"Jurus empat dewa murka!" seru Nilamaharani yang datang dari belakang dengan mengeluarkan suara dari hidung. Sekali tangannya bergerak, serangkum angin menderu dahsyat. Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari serangannya sewaktu dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat dia melompat ke samping, tapi masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar angin amat dingin itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi sedang hawa dingin mencucuk menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
"Celaka!", keluh pemuda itu dalam hati. Keringat dingin memercik dikeningnya. Kedua dara berbaju kuning sementara itu hanya beberapa langkah saja di hadapannya dan sama-sama siap melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan senjata itu tanda benda tersebut bukan senjata sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda itu lalu dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani tapi juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan, permainan keris Aryo Darmo sudah terkenal hebat di samping ayahnya sendiri. Tapi hari itu kehebatannya tidak dipandang sebelah matapun oleh kedua dara berbaju kuning itu. Bahkan dengan senyum mengejek mereka maju mendekat lalu melesat di antara sambaran keris dan di lain kejap terdengarlah dua kali suara bergedebuk yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi untuk selama-lamanya. Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh pula, kakak?" bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil memperhatikan tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu kanannya hancur. "Pemuda tolol," desis gadis itu. "Aku katakan padanya akan menyelamatkan dirinya dari kematian bila dia melakukan apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari kamar itu …!"
Nilamahadewi tak berkata apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti kehendak kakaknya, kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya kakaknya berlalu dari situ diapun mengikuti,
***
Ketika mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya memasuki halaman Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat dua orang pembantu Kadipaten muncul membawa usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan" berdiri dari kursinya.
"Ada apa? Siapa yang kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua pembantu tersebut menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi sosok tubuh di atas usungan kayu.
"Anakku!" teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang menjadi mayat dan menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir di situ bagai terpaku di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat kepala putera Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah.
"Apa yang telah terjadi?! Lekas katakan apa yang terjadi?!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku pergi berburu bersama kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi pembantu itu membuat dia hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kehajar pula?!" bentak Jala Wisena pada pembantu yang satu lagi.
"Benar Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke hutan Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada waktu itu muncullah seekor anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga sedang dia sendiri pergi menangkap anak rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu dia tidak kunjung kembali kami jadi kawatir lalu pergi mencarinya. Ketika kami temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!"
"Mungkin sekali dia telah dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di sekitar Bintaran sama sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun tidak!" jawab Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju pada jari manis tangan kanan anaknya. Di jari manis pemuda itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu hijau. Ini satu pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh oleh perampok.
"Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah pula.
"Boleh jadi," sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi seingatku anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan lain orang." Kemudian dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata, "Antarkan aku ke tempat kau menemui mayatnya. Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah . . . ".
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya karena dari pintu ruangan dalam terdengar jerit istrinya yang kemudian lari ke arah mayat puteranya yang masih menggeletak di atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini laksana disayat-sayat dan di lain pihak gelora amarahnya semakin membara. Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya dapat dipertenang maka bersama keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang pembantunya berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten bilamana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah kelihatan jelas. Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian sepasang mata Adipati Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera diambilnya. Benda itu adalah keris milik puteranya. Sambil menimang-nimang senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ telah terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Perampok sudah jelas bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup bisa diandalkan. Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian, nyatalah lawannya seorang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar situ tempat kediamannya seorang sakti yang tak mau tempatnya dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya si orang sakti memergoki puteranya dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang banyak bukitbukitnya itu. Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas tapak kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian. Dia memandang berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang mencurigakan. Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat orang Lurah serta pembantu Kadipaten itu, tak seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka tengah menjadi incaran dua pasang mata yang tersembunyi di balik semak belukar lebat.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain adalah Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti sia-sia. Atau mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu, membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang".
Setelah berunding maka kedua gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara di luar sana Adipati Jala Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar situ dengan seksama. Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak hendak meninggalkan tempat itu bersama rombongannya mendadak entah dari mana datangnya melesatlah sebuah benda putih di hadapan mereka dan menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat mengambil benda itu yang temyata adalah segulungan kertas. Ketika dibuka, di bagian dalam gulungan terdapat tulisan yang berbunyi:

"Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-orangmu ke Telaga Intan Dewi, Kau sendiri harus pergi ke sebelah barat."

Jala Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat Lurah. Untuk beberapa lamanya mereka saling berpandangan dan diam dalam jalan pikiran masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan gulungan surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin," sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula petunjuk dari seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah menimbang lebih dalam akhirnya lakilaki itu memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam surat tersebut. Keempat Lurah itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke barat. Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk kembali ke hutan Bintaran sebelah timur. Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar matahari boleh dikatakan tak dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh di sana. Belum jauh dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara teriakan perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita berpakaian kuning dilihatnya terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi dan membayangkan rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian rupa hingga jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis muda, apakah yang terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah gadis itu berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si gadis.
"Sa . . . satu makh . . . makhluk aneh hendak menyergapku," jawab gadis itu seraya bangun dan membetulkan pakaiannya yang tersingkap.
"Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku . . . aku mengejar kupu-kupu … aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu kelihatan terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari sini?".
"Tidak . . . tak berapa jauh. Tapi …. kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak bisa berjalan. Oh …. tolonglah!"
"Mari kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang gadis itu dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah dukung …. aaa."
Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis itu kelihatannya menderita sekali. Ditolongnya berarti dia harus mendukung tubuh gadis itu dan ini membuat hatinya berdebar dan darah dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Aduh …. tolonglah," terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung si gadis dan membawanya ke sebuah tempat di kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon beringin itu," kata gadis baju kuning. Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan.
"Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah akar gantung yang berdempetan ditariknya maka terdengar suara berderak dan batang pohon beringin di hadapannya yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah pintu. Si gadis menyuruhnya masuk. Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke dalam. Pintu di belakangnya kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena seorang yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Tak syak lagi dia bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti yang diam di tempat tersebut.
Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang luasnya cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah tangga yang menuju ke sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari ruangan di belakang pintu tersebut.
"Itu tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai diambang pintu yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki ini sewaktu melihat ruangan yang amat bagus di hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah kamar lengkap dengan pembaringan.
"Baringkan aku di tempat tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya Adipati Jala Wisena.
"Sebelum aku menjawab, sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau adanya," kata gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa adanya Jala Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!" si gadis kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu seenaknya.
Tidak tahunya kau seorang berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan kelancanganku Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai berada di hutan Bintaran?"
Jala Wisena tak segera menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus kelihatannya.
"Bau apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum semerbak.
Dia memandang berkeliling karena dirasakannya kamar itu bertambah suram dari sewaktu mulamula dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh yang terbuat dari kayu yang ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya. "Terima kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru? Aku berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . . "
Karena sebelumnya yakin bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu dia dan gurunya kenal baik seluk beluk daerah sekitar bebukitan di situ dan hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa gerangan?"
"Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan giginya besat-besar merupakan taring. Ngeri sekali … Tak mau aku mengingat-ingatnya Adipati. Kuharap kau jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi …."
"Kau tentu tak tinggal sendirian di sini …."
"Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih belum kembali."
"Siapakah gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis itu.
Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah tersingkap membuat betis dan sebagian pahanya menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan untuk penghibur hati.
Sementara itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya. Aliran darahnya tidak seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi dari situ.
"Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku Nilamahadewi…"
"Baiklah, sampai bertemu lagi Nila … "
"Tunggu, jangan pergi dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.
"Aku harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai segala macam peradatan Nila!"
"Tapi …" Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh," kata Adipadi Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena dilihatnya gadis itu hampir jatuh terjerembab.
Namun sebelum tangannya memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap dalam satu gerakan totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena menjadi kaku tegang!
"Nila, apa-apaan ini?!" seru Jala Wisena.
Nila Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk selanjutnya Adipati itu tak bisa membuka suara lagi karena urat lehernya sudah kena ditotok! Dalam keadaan tak berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang mata Adipati Muntilan ini membeliak besar sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-jari tangan Nilamahadewi satu demi satu membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
***
Matahari telah condong ke barat. Empat orang Lurah dan seorang pembantu Kadipaten Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan Dewi mulai merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana mereka telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi…
"Gusti Allah!" jerit salah seorang Lurah yang; berada di paling depan. Langkahnya terhenti, demikian juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu cuma seketika karena kelimanya kemudian berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala Wisena yang menggeletak di tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak bernyawa lagi!
***

Next ...
Bab 4

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 3"

Posting Komentar