WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
EMPAT
DESA tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur dan penduduknya hidup tenteram. Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti malam akan diadakan pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta perkawinan anak laki-lakinya yang tertua dengan seorang gadis desa yang berwajah ayu, berkulit hitam manis.
Di halamaw depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang golek. Hiburan semacarn ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang hati penduduk jadi bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi baru akan dimulai tapi telah banyak orang—terutama anak-anak—yang berkumpul di sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah penduduk desa Tembilangan dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji kecantikan pengantin perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa kagum akan kegagahan wajah pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari, demikianlah orangorang memberikan perumpamaan.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua orang menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana tegang terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu, berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
"Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng. "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang sebuah gada di tangan. Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan yang penuh ketegangan itu tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di atas kepalanya yang dibarengi dengan ucapan persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu, "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu…!"
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan penuturannya. Semua memandang ke hadapan panggung di mana berdiri dua orang dara berbaju kuning yang parasnya cantik sekali. Untuk sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi sepi yang tidak enak.
"Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki dalang.
Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi beliakkan matanya dan membentak. "Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan dengan kau!"
Kebopamenang, Kepala Desa yang mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya dan melangkah ke hadapan dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik, siapa gerangan kalian? Mengapa datang dengan cara begini rupa?"
"Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si dara yang di samping kanan menjawab.
Tentu saja ucapan itu membuat merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu tadi terangterangan menyebut namanya seenaknya saja padahal dia telah berusia lebih dari enam puluh!
"Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap kalian suka angkat kaki dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk mengambil pengantin laki-laki!"
"Jangan membanyol tak karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang membanyol?!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit pelajaran padamu!"
Habis berkata begitu, entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"! Sebuah tamparan menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah dan sebuah giginya tanggal!
"Gadis keparat!" teriak Kebopamenang marah bukan main. Tangan kanannya yang membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua tangannya digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil ditangkapnya terus diputar dan sesaat kemudian tubuh kepala desa itu benar-benar dilempar melayang ke atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu terus menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk centang perentang!
Semua orang kaget bukan main. Beberapa diantaranya ada yang maju ke muka untuk memberi hajaran pada gadis-gadis yang berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang hendak mereka lakukan itu tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget bukan main karena saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah tidak ada! Dan lebih lebih kaget lagi karena pengantin laki-lakipun lenyap dari pelaminan sedang pengantin perempuan tampak menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke mana aku?!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada di atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa Munggul. Dialah pemuda yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang yang kini dilarikan oleh Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul …"
"Aku tak kenal kau dari mana kau tahu namaku? Apa maksudmu melarikan diriku?!" Nilamaharani tertawa.
"Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal kau temui bersamaku …". Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi karena adiknya memotong dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa maksud malam pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara jelita serta ucapan dara itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora, tapi saat itu Mahesa Munggul merasa sangat tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah semak belukar. Dia heran sekali karena sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah ruangan yang diterangi dengan sebuah pelita aneh. Belum habis rasa herannya itu dia sudah dibawa pula memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di atas tempat tidur yang empuk. Bau harum yang aneh dan merangsang menabur hidung pemuda itu. Dilihatnya api pelita di dalam ruangan bertambah kecil sedang bau rarum yang merangsang makin bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di tubuhku," Mahesa Munggul berkata dengan suara keras. Dia merasa heran kemana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat tidur. Di pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau keras kepala…"
"Kau mau berbuat apa terhadapku?!"
"Ah, jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa…" kata Nilamaharani. Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang pemuda sudah barang tentu tak akan menolak jika dicium oleh dara jelita seperti Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa Munggul merasakan satu keanehan yang mendirikan bulu tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa Munggul. Diciumnya lagi pemuda itu dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap ke bawah pinggang. Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan ditotok mungkin dia sudah melompat dari atas tempat tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas kau lepaskan totokanku!" teriak Mahesa Munggul menggeledek.
Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani… semakin berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda rangsangan yang tak pemah dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani melepaskan totokan di tubuhnya, pemuda ini sudah lupa daratan den lupa segala apa yang dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan seorang pemuda yang ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur, Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung hendak meramuk mangsanya. Gadis itu tertawa dan menggeliat-liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi gelap. Hal ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang benaknya sudah tertutup nafsu.
***
Sebuah gerobak barang yang memuat segala macam sayur mayur meluncur di jalan buruk yang menuju ke desa Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan terasa segar. Gerobak itu dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya duduk seorang anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh makhluk jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa. Sejak malam tadi seluruh penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini pemuda itu masih belum berhasil ditemukan…"
"Kemungkinan… jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang dikemudikannya meringkik keras dan menaikkan kedua kaki depannya hingga gerobak sayur itu hampir saja terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki perngemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah jalan beberapa langkah di hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang tidak mengenakan pakaian barang selembar benangpun. Sekujur tubuhnya penuh dengan benjat benjut bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, pengemudi gerobak sayur itu mendekati sesosok tubuh di tengah jalan itu. Meski sebagian besar muka orang yang terhantar di tengah jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi pengemudi gerobak masih bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak laki-lakinya yang juga mengenali berteriak,
"Ay… ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
***
Next ...
Bab 5
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 4"
Posting Komentar