WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
LIMA
DI PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng bukit sejak pagi tadi kelihatan berkelebat kian kemari satu makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung raksasa yang tengah mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila didekati temyata dia bukan lain seorang manusia juga adanya yaitu seorang nenek-nenek berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh serta ilmu larinya yang hebat dia berkelebat kian ke mari seolah-olah ada sesuatu yang sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi lalu memandang berkeliling.
"Heran," katanya dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran telah kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur itu lebih tajam dari mata seekor burung elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini tak berdaya untuk menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam dan siang berganti malam, nenek-nenek itu masih juga berkelebat kian ke mari. Namun akhirnya dia tahu apa yang dilakukannya itu adalah sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak bukit ang paling tinggi dan duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang mulai bersembulan di angkasa raya, sewaktu rembulan tampak memunculkan dirinya di langit biru maka dari puncak bukit yang paling tinggi itu terdengarlah suara nyanyian yang menggema ke seluruh penjuru bahkan menyejak masuk ke dalam hutan Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya mengeluarkan suara yang menegakkan bulu roma kini diam gelisah. Seluruh bebukitan dan hutan belantara, seluruh epekatan malam serta siuran angin dingin, telah dicengkam oleh suara nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suata helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya kembali terdengar suara nyanyian itu.
"Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan …."
Demikianlah sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga terus terdengar dari puncak bukit diulang-ulang dari baris pertama sampai baris terakhir. Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu bukit dua orang gadis berpakaian kuning duduk saling pandang. Mereka adalah Milamaharani dan adiknya Nilamahadewi.
"Aku yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara guru. Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi kepada kakaknya.
Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan tempat ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai kapanpun tak akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah berbukit-bukit ini. Sampai berapa lama kita bisa menunggu di sini? Sampai mati kelaparan karena kehabisan makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia pasti melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil itukah nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak dilahirkan aku bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita tunggu sampai matahari terbit…
"Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian. "Hidup sebatang kara …. penuh sedih dan derita…
***
Sewaktu sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak bukit yang paling tinggi di daerah itu, nenek-nenek berjubah kuning yang telah menyanyi sepanjang malam, melihat dua buah titik kuning d lereng sebuah bukit yang terletak jauh di sebelah barat.
"Nah . . . . nah . . . , nah …. Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari persembunyian mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput diwajahnya kelihatan bertambah banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang matanya yang mengabur memantulkan sinar aneh. Tanpa membuang tempo lagi nenek-nekek ini segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya. Kelihatannya sepasang kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi hebatnya dalam waktu yang singkat dia sudah berada jauh dari puncak bukit di mana dia berada sebelumnya.
Laksana seekor burung walet, nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya dua titik kuning tadi.
"Murid-murid murtad! Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba berteriak. Hebat sekali, suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara guntur mendera daerah itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan diri!"
Nenek-nenek yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa kaget yang tidak terperikan. Suara teriakan balasan itu tak kalah kerasnya dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya," kata Ni Mindi Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas muridnya itu beraniberanian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya larinya. Di lain ketika pada akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan Nilamaharani serta Nilamahadewi saling bertemu dipuncak sebuah bukit sementara sang surya sudah muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan mata membeliak. Kemudian terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah …. nah …. nah ! Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia ini? Atau iblis menipu mataku?".
"Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu?!"
"Mengapa tidak? Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal umurmu cuma sampai hari ini!"
"Hem, begitu?! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih kusediakan sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat kekurang ajaran dan kesombongan kalian jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas kasihanmu?!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot kelihatan menggembung.
"Sebelum hukuman kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek itu. "Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah kalian sudah gila?!"
"Betul!" jawab Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya hingga memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka bumi karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen lalu memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu! Dua gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
***
Next ...
Bab 6
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
0 Response to "Sepasang Iblis Betina bab 5"
Posting Komentar