WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang
TIGA BELAS
Matahari berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak d i perdu I ikannya keterjkan sinar matahari. Tak diacuhkannya butir¬butir keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal. Juga tak di perdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik daun-daun pepohonan. .
Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang sebuah bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tampak sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih, dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang lagi ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu kalau didekati bukan lain dari tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan itu?! Berapa ribukah tulang belulang dan tengkorak manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun Tulang?!
Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar dan se¬kitarnya. Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau. Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga se¬dang di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar.
Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah ka¬rena matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin itu bukan bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?!
Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk tenggelam dalam Segala macam pikiran begitu rupa. Di¬perbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pingang di balik baju putihnya. Kemudian diambil¬nya buntalan yaag terletak dekat kakinya dan sekali ber¬kelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, te¬rus lari laksana tiupan angia menuruni lereng pedataran tinggi.
Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana masih tenang-tenang saja seperti sediakala. Dan waktu me¬mandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih itu terbuat dari susunan tulang belulang dan tengkorak manusia! Wiro tekaakaa telapak tangan kirinya ke pagar tulang belulang dan «jeodareng. Astaga! Pagar itu ko¬koh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya! Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol!
Wiro memandang berkeliling lalu mendongak ke atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan teng¬korak kepala manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang lalu dengah satu gerakan yang lebih keras maka tubuh¬nya terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro me¬layang turun ke halaman dalam Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata dari tiang-tiang sampai ke atapnya terbuat dari tulang belulang dan tengkorak manusia!
Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela ru¬mah besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sa¬bleng bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu dan jendela-jendela rumah besar berserabutan ke luar puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu ke arah Wiro Sableng!
Wiro sadar kalau dia lelah masuk ke dalam perang¬kap kematian! Segera dia songsong serangan harimau itu sekaligus! dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar Buah!" Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi sesaat kemudian dengan serempak mereka telah menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa laksana ber¬ada di tengah lautan harimau! Dan kesemua binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek atau menerkam tubuhnya!
Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak menghadapi puluhan harimau!
Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ke¬tika saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau me¬ngaum dahsyat dan rebah bermandikan darah kena di-sambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah ber¬tempur seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah dttewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena melihat genangan darah kawan-kawan mereka!
Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang. Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup yang menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu pula semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah menggerak¬kan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu!
Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuh¬nya terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tu¬lang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian. Kejurusan mana saja dia memandang hanya bangkai¬bangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang di¬liputi kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi ber¬gidik! Keletihan membuat dia duduk terhenyak di tanah. Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengem¬balikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku awas. Entah perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya!
Bila dirasakannya kekuatannya sudah putih maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda adanya manusia di situ tapi Wiro yakin bahwa setiap gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang ter¬sembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat darah binatang-binatang itu!
Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia berteriak:
"Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan? Harap ke luar perlihatkan dirimu…!"
Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua kakinya laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari Utara ke Selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang besar. Telinganya menangkap suara berkereketan. Astaga rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke pusat cekungan.
"Gendeng betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk ker bau dan dari sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia sampai di atas puncak pagar da memandang ke bawah, seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkai¬bangkai harimaa lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok matanya Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa terjadi?!
Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah Timur. Tadi sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu terbuka. Wira cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya. Ampun! Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar tempat Wiro berdiri dengan bantalan di tangan kiri lalu salah seorang di antaranya berseru.
‘Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!"
"Kalian siapa?!" tanya Wiro.
"Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!"
"Kalau begitu katakah padanya bahwa aku hendak
bertemu dengan dia."
‘Turunlah! Kami antarkan kau padanya!"
Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya bukan main, menggetarkan pagar tulang belulang di mana dia berada. Bukan mastahil dengan mengandalkan kedua dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang perangkap baru baginya!
"Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!" ujar Wiro. Jelas kelihatan pembahan pada wajah kedua dara berpakaian kuning. "Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun untuk diantar menghadap Batak Sipatoka kau tak mempunyai keberanian sama sekali?!"
"Sialan! Kalau aku tak punya keberanian masakan mau datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku membawa oleh-oleh bagus untuknya!"
Kedua dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka mulut keluarkan suara:
"Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup ke luar hidup-hidup!"
Wiro Sableng tertawa. "Setiap ada datang musti ada pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar!"
Si dara baju kuning mendengus.
"Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!"
Wiro tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar. Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro.
Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju kuning.
"Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup! Lekas turun!"
Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk menakut-nakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang se-dang debaran jantungnya bertambah keras! Heran, pa¬dahal dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal terhadap segala macam racun tapi mengapa asap seribu tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?!
Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng melompat turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam hatinya Wiro berkata: "Buset, gadis-gadis begini cantik jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul!" Agaknya ke¬dua gadis pun lelah terpesona melihat kegagahan tam-pang Pendekar 212. Namun yang seorang segera mem¬bentak:
"Lekas ikut kami!"
"Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mam¬pus percuma!" peringatkan Wiro.
Kedua gadis tak berkata apa-apa dan melangkah menuju pintu di sebelah Umur, Wiro mengikuti di be¬lakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga se-gala kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di sebelah Timur pagar tulang belulang. Begitu masuk be-gitu pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipat gan¬dakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggal¬kan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke ba-wah, disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti. Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini. Lorong ini baik bagian lantai maupun atas serta samping dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa hingga seperti bunga!
Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak enak.
"Ini ke mana?!" tanyanya.
"Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak dara baju kuning paling muka.
Tak lama kemudian lorong Hu sampai juga ke ujungnya. Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh dua orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang ke bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu, di situ terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulang¬tulang iga manusia yang berbunyi : ISTANA SIPATOKA.
Pintu gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba untaian tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gaba¬gaba ini laju memberi jalan pada Wiro Sableng.
Pendekar 212 tak segera masuk. Dia memandang ke dalam dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu dibayangi kengerian bagi Pendekar 212.
"Ayo masuk!" seru dara baju kuning.
Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuat¬kan hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar 212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.
***
Next ...
Bab 14
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 13"
Posting Komentar