Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 14

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang

EMPAT BELAS
Sampai di hadapan tangga gedung besar dari tulang belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya.
‘Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah menanti kedatanganmu!" kata salah seorang dari dara¬dara baju kuning.
"Kalian sendiri mau ke mana?"
"Apa urusanmu?!"
Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang lain.
Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol se¬kali, demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tu¬buhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, de¬mikian juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot ta¬jam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan kebengisan!
Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga ma¬nusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar, tapi nyatanya cebol begitu rupa.
Di samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini. Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning berbelang hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat dan mengandung racun jahat!
Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Hanya pandangan-pandangan mata yang saling bentrokan dengan pandangan mata Wiro Sableng! Ketika hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga, Wiro akhirnya berkata:
"Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka dari Tambun Tulang?!"
Si tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa gelak¬gelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga meng-getarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendat¬nyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!
Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak gempuran suara tawa yang dahsyat itu.
"Istana Sipatoka di bawah bukit Tambun Tulang! Siapa datang jangan harap bisa pulang!" si cebol kepala besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang di-ucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pen¬dengaran Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini me¬rasa tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya kembali.
Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun.
"Delapan puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah apa pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat demikian rupa?!"
Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun menjawab dengan ucapan berpantun pula!
"Jauh berjalan menyeberangi samudera. Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya. Masakan mau berbuat sedemikian rupa?"
Semua orang kelihatan saling berpandangan sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya. Dan saat itu Wiro berkata pula:
"Delapan puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal berbuat begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!"
Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab:
"Silang sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan saja! Mengapa datang sengaja mencari mati?!"
Wiro tertawa mengekeh.
"Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan yang telah kau buat di Pulau Madura!"
"Urusan apa, hai orang gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi.
"Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya!"
Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu!
"Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya bukti atas tuduhanmu itu?!"
"Dua buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan sama dengan keris-keris yang bergelantungan dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng.
"Ocehanmu bagus sekali!" tukas Datuk Sipatoka.
Wiro menyeringai.
"Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang berkicau macam burung kehilangan sarang!" Habis ber¬kata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan ka¬nan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau yang ditemui Wiro dipertapaannya Kiai Bangkalan di Pulau Madura tempo hari.
"Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir? Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk mungkir!"
Air muka Datuk Sipatoka membesi.
"Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan?!"
"Namaku telah kusampaikan beberapa hari yang lalu lewat seorang anak buahmu," sahut Wiro seraya memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang laki¬laki yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Laki¬laki inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang."
Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak menyangka kalau inilah pemudanya yang telah "mengukir" tiga buah huruf itu di kening anak buahnya!
"Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan, bukan urusanmu untuk menanyakan!"
"Pemuda nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang ke mari hanya untuk mencari mati!"
Wiro tertawa dingin.
Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong:
"Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!"
Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri.
"Apa ini?!".sentak Datuk Sipatoka.
"Silahkan buka sendiri!" jawab Wiro seenaknya.
Meski hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk membuka ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki Datuk Sipatoka.
Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan!
Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupa¬kan rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan ter¬sebut yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka!
Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa. Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara anak buahnya! Tapi tokh dia mati demikian rupa! Dan siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang telah membunuh Gempar Bumi!
"Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu terpaksa kupercepat!" Datuk Sipatoka memandang berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek: "Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!"
Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu de¬ngan gambar kepala harimau kuning besar di dada pa¬kaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele!
Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa dan pembantu-pembantu kelas dua langsung mencabut keris. Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan tangan kosong!
Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212 sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji Pukulan Sinar Matahari!
Begitu tawan menyerbu Wiro segera bergerak.
Terdengar suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa nafas!
Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya demikian juga bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terkejut!
Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum meng¬hantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya roboh!
Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan menggoyang-goyang nya beberapa kali. Empat puluh dara¬dara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di tangan. Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka!
"Lepaskan asap seribu tulang! Tutup semua jalan keluar!" perinlah Datuk Sipatoka pada dara-dara itu. Begitu perintah dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.
Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di belakang Wiro lalu membentak: "Orang yang sembunyi di atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa men-duga dengan pasti siapa orangnya!
"Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!" kata orang yang di atas loteng.
Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam. Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas! Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran tulang-tulang itu, keempat jago kelas satu itupun terhempas ke lantai, mengeluh panjang laki muntah darah dan konyol!
Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergeme Makan. Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pu¬cat! Dan di loteng tepat di atas Kepala Datuk Sipatoka kembali terdengar suara tertawa bergelak!
"Kurang ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan ka¬nannya bergerak mencabut sepuluh keris emas kecil yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap kemudian senjata-senjata Hu laksana kilat melesat ke loteng di atas kepalanya!
***

Next ...
Bab 15

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



Related Posts :

0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 14"

Posting Komentar