WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang
ENAM
Di tengah pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam. Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar juga selalu mengulum senyum yang diberikan pada orang ramai di sekelilingnya.
Laki-laki berpakaian hitam, melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia bicara.
"Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih yang saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di sini. Kita bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudara-saudara tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima kasih…."
Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap, berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Dibagian dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki separuh baya yang ada di lengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu mengetahui kedatangan penunggang kuda ini segera bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya minat lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak itu dan berlalu dengan cepat!
Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan ucapannya.
"Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk mencari Uang guna membeli sesuap nasi. Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir disini tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang kami akan mulai…."
Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya. Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekat¬dekat pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betul¬-betul senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau kertas tebali
Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis itu mengambjl sebuah gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju. Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini menari sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk kulit daging tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka, tergorespun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan pula "permainannya lalu menjura kepada orang banyak yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh!
"Saudara-saudara sekalian, pertunjukan, berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang golok tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan bahwa benda itu sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati terbelah dua!
Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang. Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, se¬mua orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang merasa ngeri meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," golok¬nya dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara "buuk!" Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja tidak melukai punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas tubuhnya dan suara "Buuk… buuk… buuk." Terdengar tak kunjung henti! Ke¬ngerian orang banyak berubah menjadi tempik sorak kagum!
Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada yang melemparkan uang logam ke tengah lingkaran yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu di¬masukkan ke dalam kotak.
"Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara," kata laki-laki berpakaian hitam. Dia melirik sekilas pada penumpang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan.
"Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu selanjutnya. "Saudara lihat kuati besardibela kang itu? Kuali
itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudara¬saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke dalamnya dan mandi!"
Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali yang besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan asap panas.
"Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka ke segala penjuru. "Mungkin saudara-saudara mengira air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam bukanlah seorang penipu!"
Dari dalam sebuah kolak laki-laki yang mengaku bernama Pagar Alam itu mengeluarkan seekor tikus. Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Binatang itu mencicil dan meregang nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar meranggas hidung! ", Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu di-cemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu mencicil sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati matang! Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali Pagar Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara saksi¬kan sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali ini!"
Semua penonton menahan nafas penuh tegang se¬baliknya disudut bibir-penunggang kuda berkumis me¬lintang tersungging senyum penuh arti!
Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia ber¬diri di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya ber¬kobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di dalam kuali itu adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling sam¬bil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah!
"Saudara saudara sekarang aku akan duduk dalam kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku!"
Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masing¬masing dibentangkan lebih lebar.
Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit tiba-tiba laki¬laki ini menjerit keras dan melompat ke luar dari kuali. Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut kelihatan putih matang laksana daging direbus! Semua orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya dikedua kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah! Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah "menahan" dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan akibatnya kedua kaki itu terebus matang!
Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke segala penjuru.
"Saudara-saudara siapakah diantara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai ayahku!"
Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling.
Sepasang matanya-beradu pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis, ini berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai ayah silahkan maju kehadapanku! Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya!"
Orang banyak memandang pula berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung kuda!
"Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut terkutuk!" teriak Mayang lantang!
Sementara itu dengan merintih kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepasang matanya menyorot penuh amarah, memandang berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras laki-laki yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka mulut dengan suara bergetar:
"Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!"
Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka .tubuhnya ringan sekalj melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang duduk di tanah bersandar ke peti!
Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan pajak yang musti kau berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan!"
"Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak Mayang.
"Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya!
Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan’. Rakyat tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan pe-nguasa negeri ini!" "Aha…. Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka!" Mayang meludah ke tanah. "Aku tidak takut pada Datukmu itu!"
Gempar Bumi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya.
"Aku tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata. "Kau mencelakai diriku bukan karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah menolak lamaranmu dua minggu yang lalu!"
Gempar Bumi tertawa dingin.
"Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi babaran baru menyesal!"
"Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia macammu!" sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!
Gempar Bumi memandang berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. "Siapa-siapa yang coba menantang kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya sama saja dengan mencari mati!"
"Bangsal terkutuk!" damprat Mayang. "Aku lebih baik mampus daripada jadi isirimu. Aku lebih baik mati berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk keparatmu!" Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar sebilah golok dan menyerang Gempar Bumi!
***
Next ...
Bab 7
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 6"
Posting Komentar