WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang
LIMA
Seperti yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa meninggalkan sedikit jejak pun! Sebaliknya ketika dia memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam bati dia merasa malu sendiri!Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di sekelilingnya. Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun, entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang tiada terkalahkan sepanjang masa!
Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawa¬kan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak pada Wiro: "Kau melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana!"
"Kau gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak datang kau pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu karang yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh tombak!"
Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah puncak batu karang!
Wiro berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas melompat turun! Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di atas puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira sekail di kala ke luar rumah mandi hujan! Begitu ombak mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya menyongsong ke muka!
"Byuur!"
Ombak menerpa, Batu karang bergoyang keras. Tapi Tua Gila masin berdiri di atas puncak karang itu, Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira; "Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih besari"
"Manusia aneh gila" desis Wiro. tapi diam-diam dia kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau dia tak menyaksikannya sendiri.
"Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!" teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri bengong melompong di bawah sana.
"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro.
Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya.
Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua.
Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sempit runcing, serta licin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu karang di mana dia berada bersama Tua Gila.
"Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangan" teriak Tua Gila. "Begitu ombak datang songsong dengan pukulan kedua telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempas¬kan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu, dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila! Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu cadas Tiba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah menyentakkan benang kayangan yang menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di puncak batu karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo, sambutlah!"
”Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak¬puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu¬batu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. ‘ Lambat laut timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan menguatkan diri dap menabahkan hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan didorongkan ke muka!
"Byuur!"
Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah. Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.
Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata: "Tidak percuma… tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya murid macam ini! Tidak percuma!"
Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede!
Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda. Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawa-¬tawa Tua Gila berkata:
"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apa¬-apa…!"
"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro, "Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan itu?"
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat… ah…. Agaknya tak perlu kuteruskan…."
Wiro Sableng merasa tak enak.
"Karena mengingat apa, orang tua…?"
"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak senang. "Ilmu pukulan yang telah kau pelajar! itu bernama "Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan satu diantara tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang, untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus," kata Tua Gila.
Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar! Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.
Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri, pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng.
"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah melihatmu!"
Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk dihadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini bersifat aneh. Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki dari situ.
"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat yang hebat padaku…."
"Lalu apa lagi?" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila," kata Wiro.
"Eh, petunjuk apa?!"
"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun Tulang."
"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"
"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa keterangan."
"Keterangan apa?!" tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu…."
"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di situ?!" Tua Gila tertawa mengekeh.
"Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua," sahut Wiro.
"Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu meneruskan lagi: ‘Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang. Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka, seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup, orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan saja niatmu pergi ke situ?!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia¬sia!" kata Tua Gila pula.
Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu padamu!"
"Wiro mendumel dalam hati”.
"Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai bukit tulang manusia itu… apakah itu manusia-manusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan
orang-orangnya?" tanya Wiro lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan me¬ngetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku! Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah dengan cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil.
Wiro Sableng membalikkan badan.
"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!"
Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari Gunung Gede?!
"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang orang lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah.
"Kau… kau kenal dengan guruku?!"
"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gunung?!"
Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya. "Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng?!"
Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si Sinto Gendeng" nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!
"Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi. "Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku, Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua. Aneh, pikir Wiro.
Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru…."
Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah… pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali Tua Gila tertawa rawan.
"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila….". Dan dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali! Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup dulupun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu…! Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam. Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana¬mana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada yang memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di tanganku?"
Wiro angkat bahu.
Tua Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya men¬desis. ‘Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kuper¬tanggung jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!"
”Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu dengan guruku?" tanya Wiro ingin tahu..
"Pernah… memang pernah, orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang¬camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun men¬datang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul¬betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantas¬kah orang setuaku dan setua gurumu itu, melangsungkan perkawinan?!".
Wiro Sableng garuk-garuk’kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya…”
Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata. "Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan meng-anggap kami berdua pada gila dan memang aku dan gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, men¬dalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama berdiam diri. "Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa sampaikan salamku padanya," kata Tua Gila. Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau sendiri yang datang menyambanginya…." "Ah… hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!" "Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya," kata Wiro.
Dan Tua Gila menyambungi: "Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal yakni kematian…. Nah, Wiro sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"
Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!"
Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak: "Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pen¬dayungnya. Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke utara!
***
Next ...
Bab 6Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 5"
Posting Komentar