WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 185
Jabang Bayi Dalam Guci
TIGA BELAS
Di SATU kawasan pesawahan yang sunyi yang ikut dilanda banjir air merah pada malapetaka Malam Jahanam Jaka Pesolek hentikan lari.
Ken Parantili dibaringkan di atas lantai sebuah teratak.
Tubuh sang selir terasa panas. Tak jauh dari tempat itu ada aliran air jernih. Jaka Pesolek petik sehelai daun kecil, menggulung daun ini begitu rupa hingga bisa dipakai untuk menampung air. Air sejuk itu kemudian diminumkan dan sebagian dipergunakan membasahi kepala, wajah serta bibir Ken Parantili yang kering.
"Jaka, terima kasih kau telah menolongku. Ketika dua manusia jahat itu menghadangku, keadaanku sangat lemah. Ilmu kesaktianku tak bisa aku keluarkan.
Seharusnya aku bisa bertahan sampai tiga hari.
Sekarang aku merasa ada keanehen.Aku merasa kekuatanku mulai pulih. Bukan karena air yang barusan kau berikan. Ada sesuatu. Aku merasa ada suara detakan yang menggetarkan dadaku sebelah kiri…"
"Sahabat, aku merasa bersyukur bisa menemuimu lebih cepat. Penguasa Atap Langit pastl gembira jika mengetahui hal ini."
Saking terkejutnya mendengar ucapan Jaka Pesolek, Ken Parantili sampai terbangun dan duduk bersandar di tiang teratak. Wajahnya yang pucat tampak berubah.
"Apa katamu? Kau menyebut Penguasa Atap Langit. Memangnya…?"
"Penguasa Atap Langit menemuiku di satu tempat. Dia menyerahkan jantung milikmu padaku dengan pesan agar aku mencarimu lalu memberikan jantung itu…."
"Aku seperti tak percaya. Penguasa Atap Langit memintamu mencariku?" Ken Parantili berkata sambil mata melirik pada buntalan kain hitam.
"Betul. Dia memberikan gulungan rambutmu agar aku bisa lebih mudah menemuimu. Dia suamimu, mengapa kau bertanya seperti heran?"
Ken Parantili terdiam, tidak menjawab malah kemudian bertanya. "Apa isi buntalan itu?"
"Jantungmu! Memangnya kau kira timbel apa?!"
Ken Parantili menatap Jaka Pesolek sampai lama.
Tangannya memegangi lengan si gadis dan mulut berucap. "Pantas, kekuatan tubuhku tiba-tiba saja terasa pulih. Rupanya jantungku berada dekat diriku…"
"Aku hanya diberi tugas menyerahkan jantung. Kalau perihal bagaimana memasangkannya ke dalam tubuhmu aku tidak tahu. Ihh…tengkukku jadi merinding…"
. "Aku…sebenarnya saat ini aku tengah berpikir." Kata Ken Parantili pula.
"Berpikir apa?" Tanya Jaka Pesolek.
"Apa aku memang bagusnya memasukkan jantung itu ke dalam tubuhku dan meneruskan kehidupan ini atau lebih baik mati saja."
"Sahabat, kau ini bicara aneh. Orang mati saja kalau bisa hidup, maunya ingin hidup lagi. Kau yang masih hidup malah pingin mati…"
"Tapi sebenarnya selama ini aku sudah mati dalam hidupku…"
"Siapa bilang. Ayo, kau tak mau mengambil jantungmu itu?"
Ken Parantili diam tak bergerak. Sepertinya selir ini memang tidak ingin hidup lebih lama lagi.
Jaka Pesolek mengambil buntalan hitam, membuka pembuhulnya lalu dengan hati-hati mengeluarkan benda yang ada di dalam keranjang daun pisang berisi air.
"Ken Parantili sahabatku….lni terlalu mengerikan bagiku. Lekas kau ambil jantungmu. Aku ingin segera bebas dari amanat yang membuat ganjalan besar dalam diriku." Jaka Pesolak berucap. Suara dan tangannya yang memegang jantung bergetar. "Ambil cepat. Semoga Yang Maha Kuasa memberi berkah padamu…"
Ucapan terakhir Jaka Pesolek seolah membuat Ken Parantili menjadi sadar dan punya semangat hidup.
Untuk beberapa lama dia pandangi jantung merah berdenyut di tangan Jaka Pesolek. Perlahan-lahan dia buka bajunya hingga dadanya tersingkap lebar. Dengan dua jari tangan kanan yang diluruskan selir cantik ini membuat guratan di atas dada sebelah kiri.
"Settt!"
Dada terbelah dan terkuak besar. Tak ada darah yang mengucur.
Jaka Pesolek tak berani memandang. Tapi ketika dia merasa Ken Parantili menggerakkan tangan mengambil jantung yang dipegangnya, gadis bisa jantan bisa betina ini kuatkan hati, beranikan diri dan membuka matanya kembali untuk menyaksikan apa yang terjadi. Saat itu dilihatnya Ken Parantili dengan segala ketegaran yang ada memasukkan jantungnya ke dalam dada sebelah kiri yang menganga terkuak. Begitu jantung masuk di dalam dada, dada lalu di usap. Dada yang terbelah menutup kembali tanpa ada bekas sedikitpun.
"Dewa Agung Hyang Jagatnatha!" Ucap Jaka Pesolek. Bulu tengkuknya kembali merinding. Saat itu dilihatnya wajah pucat Ken Parantili tampak bercahaya kembali. Bibir yang putih kering berubah merah segar.
Ken Parantili dekati Jaka Pesolek lalu memeluk gadis itu.
"Jaka, aku berterima kasih padamu. Kau telah melakukan tugas sangat berat Budi baikmu tidak bisa kubalas…"
"Aku merasa bahagia bisa menolongmu. Tapi aku juga merasa sedih. Karena sebentar lagi pasti kau akan pergi meninggalkan aku. Apakah kau akan kembali ke Negeri Atap Langit?"
Ken Parantili lepaskan rangkulan. Kepala digeleng.
Aku tak akan pernah kembali ke sana."
"Tapi suamimu ada di sana."
"Aku cuma seorang selir. Bukan istri."
"Penguasa Atap Langit berlaku baik terhadapmu.
Paling tidak dia tidak benci padamu Buktinya dia mau menyerahkan jantungmu."
Ken Parantili menatap ke arah pesawahan. Perlahanlahan air mata meluncur dari-kedua matanya yang bagus.
"Kau menangis. Karena bahagia atau apa…?"
Ken Parantili tidak menjawab. Dia mulai sesenggukan. Tiba-tiba selir Penguasa Atap Langit ini melompat berdiri di atas lantai teratak dan berteriak keras.
"Tidak! Tidaakkk!"
Jaka Pesolek cepat berdiri.
"Ken Parantili! Ada apa? Mengapa kau berteriak begitu?!"
"Aku memang sekarang bisa hidup wajar karena jantungku telah berada dalam tubuhku. Tapi aku tidak mau hidup dengan membekal jabang bayi dalam rahimku!"
Jaka Pesolek melengak kaget "Memangnya kau tengah mengandung?" Jaka Pesolek ulurkan tangan mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ken Parantili.
Yang ditanya mengangguk perlahan.
"Tiga bulan…."
Jaka Pesolek menggigit bibir. Dia tak ingin bertanya tapi mulutnya kepalang terlanjur berucap walaupun agak gagap "Si..siapa ayah jabang bayimu?" Dada Jaka Pesolek berdebar. Kawatir akan mendapat jawaban Kesatria Panggilan alias Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Penguasa Atap Langit memberi tahu kalau aku tengah mengandung jabang bayi laki-laki berusia tiga bulan dari benih hasil hubungannya dengan diriku."
Jaka Pesolek merasa lega. Ternyata bukan Wiro!
"Jelas bukan Wiro Mereka hanya bertemu beberapa hari. Sekalipun mereka melakukan hubungan badan mana mungkin bisa membuat selir itu mengandung tiga bulan. Tololnya aku ini!" Jaka Pesolek berucap dalam hati, memaki diri sendiri.
"Penguasa Atap Langit juga berpesan, kalau anak itu lahir aku harus memberinya nama Bintang Langit Dia sudah tahu kalau bayi yang aku kandung seorang bayi laki-laki."
"Nama bagus. Pasti anakmu kelak akan menjadi seorang pemuda gagah, berilmu tinggi."
"Aku tidak menginginkan anak itu!" Kata Ken Parantili.
Wajahnya tampak kelam.
Kening Jaka Pesolek mnengerenyit. "Hanya karena ayah si anak adalah Penguasa Atap Langit yang kau benci?"
"Itu salah satu alasan yang paling berat." Jawab Ken Parantili. "Aku harus melakukan sesuatu agar tidak melahirkan bayi Itu."
"Memangnya kau mau melakukan apa?" Tanya Jaka Pesolek "Kau mau menggugurkan kandunganmu?
Usia kandunganmu sudah tiga bulan. Berbahaya kalau kau melakukan itu. "
Ken Parantili palingkan kepala. Untuk beberapa lama dia menatap wajah Jaka Pesolek. Lalu mulutnya berucap.
"Ada cara paling cepat untuk melenyapkan jabang bayi itu!"
Tiba-tiba Ken Parantili luruskan dua tangan kanannya.
Jaka Pesolek terkejut, maklum apa yang hendak dilakukan selir Penguasa Atap Langit Ku. Dia berteriak.
“Jangan! Jangan lakukan itu!"
Ken Parantili susupkan tangan kanan ke balik kebaya. Tangan kiri menarik ke bawah celana hitamnya.
Tangan kanan mencapai bagian bawah pusar. Lalu terdengar suara settt!
Ketika tangan itu kemudian keluar Jaka Pesolek berteriak ngeri, jatuh terduduk di atas lantai teratak, nyaris pingsan! Di tangan kanan Ken Parantili tergenggam sosok jabang bayi merah hampir sebesar anak kucing!
"Dewa Bathara Agung Dewa Bathara Agung…." Jaka Pesolek mengucap berulang kali. Mukanya pucat seolah tidak berdarah, mata membelalak Mulut ditekap menahan muntah!
Seperti tadi ketika membelah dada memasukkan jantung, tak ada darah yang mengucur. Dengan tangan kiri Ken Parantili mengusap perut yang barusan dijebol untuk mengeluarkan jabang bayi berusia tiga bulan.
Saat itu juga perut itu kembali tertutup rapat!
"Ken Parantili, sahabatku….Kau sadar apa yang telah kau lakukan ?" Ujar Jaka Pesolek dengan suara bergetar.
Yang ditanya mengangguk. Wajah tegang dan air mata bercucuran di pipi.
"Lalu hendak kau apakan jabang bayi itu?" Tanya Jaka Pesolek pula.
Ken Parantili tidak menjawab tapi tangannya bergerak. Sikapnya seperti hendak membanting Jabang bayi yang dipegangnya ke lantai teratak.
"Jangan! Jangan lakukan itu!" Teriak Jaka Pesolek.
"Lebih baik kau berikan padaku!" Jaka Pesolek ulurkan tangan walau merasa ngeri.
Tapi Ken Parantili tidak perduli.
Tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat Tahu-tahu seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken Parantili. Di tangan kanan orang tua ini memegang benda aneh yang ternyata adalah sebuah guci tembus pandang berisi air sangat bening. Di sebelah atas guci ada tutup yang memiliki dua puluh lobang kecil.
"Membunuh mahluk hidup tak bersalah pada galibnya adalah perbuatan berdosa, apapun alasannya.
Membunuh jabang bayi sendiri dosanya sangat-sangat berlipat ganda. Jika kau tidak menginginkan jabang bayi darah dagingmu sendiri, maka izinkan aku untuk memeliharanya."
"Klik!" Penutup guci tembus pandang terbuka.
"Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan jabang bayi itu ke dalam guci ini."
Ken Parantili dan Jaka Pesolek sama-sama terpana.
"Orang tua, kau siapa?" Ken Parantili bertanya sambil mata menatap tak berkesip.
"Aku Resi Kali Jagat Ampusena. Kabulkan permohonanku. Semoga Yang Masa Kuasa memberi berkah pada jabang bayi dan dirimu."
"Resi, aku…." Ken Parantili tidak bisa meneruskan ucapan. Tenggorokannya serasa tersekat. Perlahan-lahan tangan kanan yang memegang jabang bayi diangkat, didekatkan ke atas guci tembus pandang. Ketika genggamannya dilepas, jabang bayi merah langsung masuk ke dalam guci. Air bening didalam guci naik ke atas dan kliki Penutup guci menutup dengan sendirinya.
"Terima kasih kau telah melakukan hal terpuji. Walau kau tidak menyukai jabang bayi ini. Namun apa yang telah kau lakukan menyatakan bahwa saat ini sebenarnya kau sudah memiliki jiwa asih terhadap jabang bayi ini. Kau ingin dia tetap hidup terus walau tidak di dalam rahimmu."
Ken Parantili tekap wajahnya ialu menangis terisak-isak.
Resi Kali Jagat Ampusena, yang di bagian pertama cerita ini telah bertapa di satu candi kecil di bantaran Kali Gondang berpaling pada Jaka Pesolek.
"Anak gadis, pahala yang telah kau buat sungguh sangat besar. Semoga Dewa Agung akan memberkatimu."
Jaka Pesolek tidak perhatikan ucapan si orang tua.
Matanya menatap ke tangan kanan yang memegang guci tembus pandang.
"Resi Kali Jagat, kau mau bawa kemana jabang bayi itu. Mau kau apakan?" Bertanya Jaka Pesolek.
"Aku bersyukur telah menyelamatkan jabang bayi ini.
Selanjutnya menjadi kewajibanku untuk menjaga, memeliharanya sampai akhirnya dia menjadi bayi seusia sembilan bulan sepuluh hari…"
"Guci itu tidak sama dengan rahim ibunya. Dari mana jabang bayi mendapat makanan? Bagaimana dia bisa hidup.*
Resi Kali Jagat tersenyum. Tangan kirinya diletakkan di atas bahu Jaka Pesolek. "Kalau Yang Maha Kuasa berbuat segala sesuatunya, apakah masih ada insan yang meragukan? Kasih sayang adalah sesuatu yang luar biasa. Ibu dari jabang bayi ini telah memperlihatkan hal itu. Dia dengan segala ikhlas memasukkan jabang bayi darah dagingnya ke dalam guci ini."
Mendengar ucapan sang Resi tangis Ken Parantili semakin keras.
Jaka Pesolek mengambil kain hitam bekas pembungkus jantung Ken Parantili. Kain itu diserahkan pada Resi Kali Jagat "Aku mohon, bungkus guci itu dengan kain hitam ini. Aku tidak tega…."
Resi Kali Jagat lakukan apa yang dikatakan Jaka Pesolek.
Ketika tangis Ken Parantili mereda dan dia menurunkan dua tangan yang menutup wajah, Resi Kali Jagat Ampusena tidak ada lagi di tempat itu.
"Jaka, kau melihat Resi itu pergi ke jurusan mana?" Ken Parantili bertanya pada Jaka Pesolek.
Yang ditanya menggeleng. "Dia lenyap begitu saja.
Seolah jadi satu dengan angin."
"Kurasa aku harus mengejar Resi itu."
"Mengapa kau ingin mengejar?" Tanya Jaka Pesolek. Tapi Ken Parantili tidak menyahut. Tanpa pamit lagi selir Penguasa Atap Langit itu berkelebat pergi.
"Aneh, tadi dia tidak mau ada jabang bayi dalam rahimnya. Sekarang setelah orang tua Ku membawa pergi jabang bayi di dalam guci, selir itu ingin mengejar.
Mau mengambil kembali jabang bayinya? Apakah dia menyesal telah mengeluarkan jabang bayi itu dari dalam rahimnya? Mau dimasukkan kembali? Ihhh…."
***
Ken Parantili dibaringkan di atas lantai sebuah teratak.
Tubuh sang selir terasa panas. Tak jauh dari tempat itu ada aliran air jernih. Jaka Pesolek petik sehelai daun kecil, menggulung daun ini begitu rupa hingga bisa dipakai untuk menampung air. Air sejuk itu kemudian diminumkan dan sebagian dipergunakan membasahi kepala, wajah serta bibir Ken Parantili yang kering.
"Jaka, terima kasih kau telah menolongku. Ketika dua manusia jahat itu menghadangku, keadaanku sangat lemah. Ilmu kesaktianku tak bisa aku keluarkan.
Seharusnya aku bisa bertahan sampai tiga hari.
Sekarang aku merasa ada keanehen.Aku merasa kekuatanku mulai pulih. Bukan karena air yang barusan kau berikan. Ada sesuatu. Aku merasa ada suara detakan yang menggetarkan dadaku sebelah kiri…"
"Sahabat, aku merasa bersyukur bisa menemuimu lebih cepat. Penguasa Atap Langit pastl gembira jika mengetahui hal ini."
Saking terkejutnya mendengar ucapan Jaka Pesolek, Ken Parantili sampai terbangun dan duduk bersandar di tiang teratak. Wajahnya yang pucat tampak berubah.
"Apa katamu? Kau menyebut Penguasa Atap Langit. Memangnya…?"
"Penguasa Atap Langit menemuiku di satu tempat. Dia menyerahkan jantung milikmu padaku dengan pesan agar aku mencarimu lalu memberikan jantung itu…."
"Aku seperti tak percaya. Penguasa Atap Langit memintamu mencariku?" Ken Parantili berkata sambil mata melirik pada buntalan kain hitam.
"Betul. Dia memberikan gulungan rambutmu agar aku bisa lebih mudah menemuimu. Dia suamimu, mengapa kau bertanya seperti heran?"
Ken Parantili terdiam, tidak menjawab malah kemudian bertanya. "Apa isi buntalan itu?"
"Jantungmu! Memangnya kau kira timbel apa?!"
Ken Parantili menatap Jaka Pesolek sampai lama.
Tangannya memegangi lengan si gadis dan mulut berucap. "Pantas, kekuatan tubuhku tiba-tiba saja terasa pulih. Rupanya jantungku berada dekat diriku…"
"Aku hanya diberi tugas menyerahkan jantung. Kalau perihal bagaimana memasangkannya ke dalam tubuhmu aku tidak tahu. Ihh…tengkukku jadi merinding…"
. "Aku…sebenarnya saat ini aku tengah berpikir." Kata Ken Parantili pula.
"Berpikir apa?" Tanya Jaka Pesolek.
"Apa aku memang bagusnya memasukkan jantung itu ke dalam tubuhku dan meneruskan kehidupan ini atau lebih baik mati saja."
"Sahabat, kau ini bicara aneh. Orang mati saja kalau bisa hidup, maunya ingin hidup lagi. Kau yang masih hidup malah pingin mati…"
"Tapi sebenarnya selama ini aku sudah mati dalam hidupku…"
"Siapa bilang. Ayo, kau tak mau mengambil jantungmu itu?"
Ken Parantili diam tak bergerak. Sepertinya selir ini memang tidak ingin hidup lebih lama lagi.
Jaka Pesolek mengambil buntalan hitam, membuka pembuhulnya lalu dengan hati-hati mengeluarkan benda yang ada di dalam keranjang daun pisang berisi air.
"Ken Parantili sahabatku….lni terlalu mengerikan bagiku. Lekas kau ambil jantungmu. Aku ingin segera bebas dari amanat yang membuat ganjalan besar dalam diriku." Jaka Pesolak berucap. Suara dan tangannya yang memegang jantung bergetar. "Ambil cepat. Semoga Yang Maha Kuasa memberi berkah padamu…"
Ucapan terakhir Jaka Pesolek seolah membuat Ken Parantili menjadi sadar dan punya semangat hidup.
Untuk beberapa lama dia pandangi jantung merah berdenyut di tangan Jaka Pesolek. Perlahan-lahan dia buka bajunya hingga dadanya tersingkap lebar. Dengan dua jari tangan kanan yang diluruskan selir cantik ini membuat guratan di atas dada sebelah kiri.
"Settt!"
Dada terbelah dan terkuak besar. Tak ada darah yang mengucur.
Jaka Pesolek tak berani memandang. Tapi ketika dia merasa Ken Parantili menggerakkan tangan mengambil jantung yang dipegangnya, gadis bisa jantan bisa betina ini kuatkan hati, beranikan diri dan membuka matanya kembali untuk menyaksikan apa yang terjadi. Saat itu dilihatnya Ken Parantili dengan segala ketegaran yang ada memasukkan jantungnya ke dalam dada sebelah kiri yang menganga terkuak. Begitu jantung masuk di dalam dada, dada lalu di usap. Dada yang terbelah menutup kembali tanpa ada bekas sedikitpun.
"Dewa Agung Hyang Jagatnatha!" Ucap Jaka Pesolek. Bulu tengkuknya kembali merinding. Saat itu dilihatnya wajah pucat Ken Parantili tampak bercahaya kembali. Bibir yang putih kering berubah merah segar.
Ken Parantili dekati Jaka Pesolek lalu memeluk gadis itu.
"Jaka, aku berterima kasih padamu. Kau telah melakukan tugas sangat berat Budi baikmu tidak bisa kubalas…"
"Aku merasa bahagia bisa menolongmu. Tapi aku juga merasa sedih. Karena sebentar lagi pasti kau akan pergi meninggalkan aku. Apakah kau akan kembali ke Negeri Atap Langit?"
Ken Parantili lepaskan rangkulan. Kepala digeleng.
Aku tak akan pernah kembali ke sana."
"Tapi suamimu ada di sana."
"Aku cuma seorang selir. Bukan istri."
"Penguasa Atap Langit berlaku baik terhadapmu.
Paling tidak dia tidak benci padamu Buktinya dia mau menyerahkan jantungmu."
Ken Parantili menatap ke arah pesawahan. Perlahanlahan air mata meluncur dari-kedua matanya yang bagus.
"Kau menangis. Karena bahagia atau apa…?"
Ken Parantili tidak menjawab. Dia mulai sesenggukan. Tiba-tiba selir Penguasa Atap Langit ini melompat berdiri di atas lantai teratak dan berteriak keras.
"Tidak! Tidaakkk!"
Jaka Pesolek cepat berdiri.
"Ken Parantili! Ada apa? Mengapa kau berteriak begitu?!"
"Aku memang sekarang bisa hidup wajar karena jantungku telah berada dalam tubuhku. Tapi aku tidak mau hidup dengan membekal jabang bayi dalam rahimku!"
Jaka Pesolek melengak kaget "Memangnya kau tengah mengandung?" Jaka Pesolek ulurkan tangan mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ken Parantili.
Yang ditanya mengangguk perlahan.
"Tiga bulan…."
Jaka Pesolek menggigit bibir. Dia tak ingin bertanya tapi mulutnya kepalang terlanjur berucap walaupun agak gagap "Si..siapa ayah jabang bayimu?" Dada Jaka Pesolek berdebar. Kawatir akan mendapat jawaban Kesatria Panggilan alias Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Penguasa Atap Langit memberi tahu kalau aku tengah mengandung jabang bayi laki-laki berusia tiga bulan dari benih hasil hubungannya dengan diriku."
Jaka Pesolek merasa lega. Ternyata bukan Wiro!
"Jelas bukan Wiro Mereka hanya bertemu beberapa hari. Sekalipun mereka melakukan hubungan badan mana mungkin bisa membuat selir itu mengandung tiga bulan. Tololnya aku ini!" Jaka Pesolek berucap dalam hati, memaki diri sendiri.
"Penguasa Atap Langit juga berpesan, kalau anak itu lahir aku harus memberinya nama Bintang Langit Dia sudah tahu kalau bayi yang aku kandung seorang bayi laki-laki."
"Nama bagus. Pasti anakmu kelak akan menjadi seorang pemuda gagah, berilmu tinggi."
"Aku tidak menginginkan anak itu!" Kata Ken Parantili.
Wajahnya tampak kelam.
Kening Jaka Pesolek mnengerenyit. "Hanya karena ayah si anak adalah Penguasa Atap Langit yang kau benci?"
"Itu salah satu alasan yang paling berat." Jawab Ken Parantili. "Aku harus melakukan sesuatu agar tidak melahirkan bayi Itu."
"Memangnya kau mau melakukan apa?" Tanya Jaka Pesolek "Kau mau menggugurkan kandunganmu?
Usia kandunganmu sudah tiga bulan. Berbahaya kalau kau melakukan itu. "
Ken Parantili palingkan kepala. Untuk beberapa lama dia menatap wajah Jaka Pesolek. Lalu mulutnya berucap.
"Ada cara paling cepat untuk melenyapkan jabang bayi itu!"
Tiba-tiba Ken Parantili luruskan dua tangan kanannya.
Jaka Pesolek terkejut, maklum apa yang hendak dilakukan selir Penguasa Atap Langit Ku. Dia berteriak.
“Jangan! Jangan lakukan itu!"
Ken Parantili susupkan tangan kanan ke balik kebaya. Tangan kiri menarik ke bawah celana hitamnya.
Tangan kanan mencapai bagian bawah pusar. Lalu terdengar suara settt!
Ketika tangan itu kemudian keluar Jaka Pesolek berteriak ngeri, jatuh terduduk di atas lantai teratak, nyaris pingsan! Di tangan kanan Ken Parantili tergenggam sosok jabang bayi merah hampir sebesar anak kucing!
"Dewa Bathara Agung Dewa Bathara Agung…." Jaka Pesolek mengucap berulang kali. Mukanya pucat seolah tidak berdarah, mata membelalak Mulut ditekap menahan muntah!
Seperti tadi ketika membelah dada memasukkan jantung, tak ada darah yang mengucur. Dengan tangan kiri Ken Parantili mengusap perut yang barusan dijebol untuk mengeluarkan jabang bayi berusia tiga bulan.
Saat itu juga perut itu kembali tertutup rapat!
"Ken Parantili, sahabatku….Kau sadar apa yang telah kau lakukan ?" Ujar Jaka Pesolek dengan suara bergetar.
Yang ditanya mengangguk. Wajah tegang dan air mata bercucuran di pipi.
"Lalu hendak kau apakan jabang bayi itu?" Tanya Jaka Pesolek pula.
Ken Parantili tidak menjawab tapi tangannya bergerak. Sikapnya seperti hendak membanting Jabang bayi yang dipegangnya ke lantai teratak.
"Jangan! Jangan lakukan itu!" Teriak Jaka Pesolek.
"Lebih baik kau berikan padaku!" Jaka Pesolek ulurkan tangan walau merasa ngeri.
Tapi Ken Parantili tidak perduli.
Tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat Tahu-tahu seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken Parantili. Di tangan kanan orang tua ini memegang benda aneh yang ternyata adalah sebuah guci tembus pandang berisi air sangat bening. Di sebelah atas guci ada tutup yang memiliki dua puluh lobang kecil.
"Membunuh mahluk hidup tak bersalah pada galibnya adalah perbuatan berdosa, apapun alasannya.
Membunuh jabang bayi sendiri dosanya sangat-sangat berlipat ganda. Jika kau tidak menginginkan jabang bayi darah dagingmu sendiri, maka izinkan aku untuk memeliharanya."
"Klik!" Penutup guci tembus pandang terbuka.
"Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan jabang bayi itu ke dalam guci ini."
Ken Parantili dan Jaka Pesolek sama-sama terpana.
"Orang tua, kau siapa?" Ken Parantili bertanya sambil mata menatap tak berkesip.
"Aku Resi Kali Jagat Ampusena. Kabulkan permohonanku. Semoga Yang Masa Kuasa memberi berkah pada jabang bayi dan dirimu."
"Resi, aku…." Ken Parantili tidak bisa meneruskan ucapan. Tenggorokannya serasa tersekat. Perlahan-lahan tangan kanan yang memegang jabang bayi diangkat, didekatkan ke atas guci tembus pandang. Ketika genggamannya dilepas, jabang bayi merah langsung masuk ke dalam guci. Air bening didalam guci naik ke atas dan kliki Penutup guci menutup dengan sendirinya.
"Terima kasih kau telah melakukan hal terpuji. Walau kau tidak menyukai jabang bayi ini. Namun apa yang telah kau lakukan menyatakan bahwa saat ini sebenarnya kau sudah memiliki jiwa asih terhadap jabang bayi ini. Kau ingin dia tetap hidup terus walau tidak di dalam rahimmu."
Ken Parantili tekap wajahnya ialu menangis terisak-isak.
Resi Kali Jagat Ampusena, yang di bagian pertama cerita ini telah bertapa di satu candi kecil di bantaran Kali Gondang berpaling pada Jaka Pesolek.
"Anak gadis, pahala yang telah kau buat sungguh sangat besar. Semoga Dewa Agung akan memberkatimu."
Jaka Pesolek tidak perhatikan ucapan si orang tua.
Matanya menatap ke tangan kanan yang memegang guci tembus pandang.
"Resi Kali Jagat, kau mau bawa kemana jabang bayi itu. Mau kau apakan?" Bertanya Jaka Pesolek.
"Aku bersyukur telah menyelamatkan jabang bayi ini.
Selanjutnya menjadi kewajibanku untuk menjaga, memeliharanya sampai akhirnya dia menjadi bayi seusia sembilan bulan sepuluh hari…"
"Guci itu tidak sama dengan rahim ibunya. Dari mana jabang bayi mendapat makanan? Bagaimana dia bisa hidup.*
Resi Kali Jagat tersenyum. Tangan kirinya diletakkan di atas bahu Jaka Pesolek. "Kalau Yang Maha Kuasa berbuat segala sesuatunya, apakah masih ada insan yang meragukan? Kasih sayang adalah sesuatu yang luar biasa. Ibu dari jabang bayi ini telah memperlihatkan hal itu. Dia dengan segala ikhlas memasukkan jabang bayi darah dagingnya ke dalam guci ini."
Mendengar ucapan sang Resi tangis Ken Parantili semakin keras.
Jaka Pesolek mengambil kain hitam bekas pembungkus jantung Ken Parantili. Kain itu diserahkan pada Resi Kali Jagat "Aku mohon, bungkus guci itu dengan kain hitam ini. Aku tidak tega…."
Resi Kali Jagat lakukan apa yang dikatakan Jaka Pesolek.
Ketika tangis Ken Parantili mereda dan dia menurunkan dua tangan yang menutup wajah, Resi Kali Jagat Ampusena tidak ada lagi di tempat itu.
"Jaka, kau melihat Resi itu pergi ke jurusan mana?" Ken Parantili bertanya pada Jaka Pesolek.
Yang ditanya menggeleng. "Dia lenyap begitu saja.
Seolah jadi satu dengan angin."
"Kurasa aku harus mengejar Resi itu."
"Mengapa kau ingin mengejar?" Tanya Jaka Pesolek. Tapi Ken Parantili tidak menyahut. Tanpa pamit lagi selir Penguasa Atap Langit itu berkelebat pergi.
"Aneh, tadi dia tidak mau ada jabang bayi dalam rahimnya. Sekarang setelah orang tua Ku membawa pergi jabang bayi di dalam guci, selir itu ingin mengejar.
Mau mengambil kembali jabang bayinya? Apakah dia menyesal telah mengeluarkan jabang bayi itu dari dalam rahimnya? Mau dimasukkan kembali? Ihhh…."
***
Jabang Bayi Dalam Guci Bab 14
Pustaka Ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Jabang Bayi Dalam Guci Bab 13"
Posting Komentar