WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang
TIGA
Tua Gila tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan gerakan jungkir balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ah gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna hendak dipamerkan di depan hidungku!" ejek Tua Gila lalu tertawa lagi gelak-gelak.
Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang dinamakan kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar 212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa gelak-¬gelak.
Wiro berdiri dengan nafas sesak dan muka pucat. Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup menahan kesabarannya? Sampai berapa lama dia akan menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya? Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?!
"Kau masih mau membangkang?!"
Wiro tak menjawab.
Tua Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah me¬nyelamatkan seorang anak laki-laki yang bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."
"Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang keterlaluan…."
"Perlakuanku apa yang keterlaluan?!" bentak Tua Gila marah sekali. "Manusia tidak tahu diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama gurumu!"
"Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"
"Apa kau tidak takut mati?!"
"Kenapa musti takut?!" jawab Wiro pula.
Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?!"
"Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!"
Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang kematian sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu. Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun menetes pipinya yang cekung!
Wiro Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya.
Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya
ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Apa arti angka 212 di dadamu itu?!" ‘
Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki yang ditolongnya.
"Guruku yang menuliskannya," kata Wiro.
"Dasar tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya. Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya aku tak perduli!"
"Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah.
"Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang dipegangnya, Wiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk mati, orang gila!"
Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan hendak dipukulkan, tiba-tiba ditariknya kembali. Dia menyeringai. "Ah… sebetulnya aku sudah muak melihat kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!"
Wiro Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua Gila lantas ajukan pertanyaan"
"Menurutmu oang tua manakah yang paling celaka hidupnya di dunia ini?!"
Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. ,
"Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!" Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah kelapa. Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab pertanyaanku tadi!"
Tua Gila memukul ke atas.
Wiro kerutkan kening.
Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat!
"Bumm!"
Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!
Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan. "Jiwamu kuampuni, orang gila," katanya. "Jawabanmu memang betul." Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya dihadapan Wiro. ”Benda ini kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat anak laki-laki yang kau tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!"
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang lua itu.
"Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro mengangguk.
"Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku itu akan diwariskannya kepadamu!"
"Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang telah mencuri buku itu"
"Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai Bangkalan!"
"Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan pemiliknya."
"Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan buku itu?"
"Aku akan pelajart isinya,…",
"Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!"
potong Tua Gila.
"Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri kepandaian orang lain!"
Tua Gila tertawa.
"Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari buku tulisannya, tanpa izin orang itu sama saja dengan mencuri Kiai Bangkalan berkata akan memberikan pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya. Jangan mengada-ada, orang gila!"
Wiro Sableng menjadi penasaran sekali.
Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak usah teruskan perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja. Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi hakmu!"
"Apakah menjadi hakmu melarang aku?!" tukas Wiro.
Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang.
"Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang telah membunuh Kiai Bangkalan!"
"Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas! Kau dengar orang gila?!"
"Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil membekuk si pencuri dan si pembunuh!"
"Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai Bangkalan…?" ejek Tua Gila. ‘
"Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh manusia itu.
"Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!"
Wiro sunggingkan senyum sinis dan. menjawab:
"Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milik¬mu?!"
Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi muak melihat tampangmu!"
Wiro mehggerendeng.
Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat! Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!
***
Next ...
Bab 4
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 3"
Posting Komentar